Awal Oktober lalu, Pimpi Rachmavirani memutuskan mengundurkan diri sebagai associate manager di perusahaan yang bergerak di bidang riset pemasaran. Ia mengambil keputusan ini karena tak sanggup meninggalkan anaknya, Quinsha Najayasha, yang baru berusia 6 bulan. "Saya memilih keluarga ketimbang kerja," katanya saat dihubungi Senin lalu.
Tak berat bagi Pimpi berhenti bekerja karena tak mempengaruhi kondisi keuangan keluarga. Gaji suaminya masih bisa menutupi kebutuhan keluarga. Namun keinginan Pimpi beraktualisasi diri terhambat. "Sembilan tahun saya bekerja," ujarnya. Karena itu, perempuan 32 tahun ini masih berniat mencari pekerjaan yang memungkinkan dia masih sempat mengurus bayinya.
Kantor yang dekat rumah atau di luar kawasan macet menjadi yang disasar Pimpi. "Agar cepat sampai di rumah," ujarnya. Betapa tidak, pengalamannya berkantor di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, membuat alumnus Institut Pertanian Bogor ini tiap hari menghabiskan 14 jam di luar rumah. "Pulang rumah, anak saya sudah tidur," katanya.
Konsultan psikologi dan karier Wiwiek Wijanarti mengatakan banyak perempuan berkarier yang merasakan dilema saat memiliki anak. "Memilih karier atau keluarga," katanya pada Selasa lalu. Idealnya, perempuan yang ingin berkarier mendiskusikan masalah itu dengan suami sebelum menikah.
Menggantungkan penghasilan pada suami, ujar Wiwiek, bukan penyelesaian yang tepat. Perempuan bekerja tidak semata mencari uang, tapi juga untuk mengaktualisasi diri. Jika demikian, manajemen dan perencanaan harus dibuat.
Wiwiek mengatakan ibu yang memilih bekerja harus memiliki kesiapan mental yang kuat. "Membutuhkan tenaga yang ekstra," katanya.
Kesiapan ini tidak hanya dibutuhkan saat memiliki anak di bawah lima tahun (balita), tapi juga seterusnya. "Ketika membesarkan anak dan mengurus keluarga," ujarnya.
Konsultan di biro konsultasi karier laman portalHR.com ini menilai yang ideal bagi perempuan adalah mengurus keluarga. Namun, jika kemauan berkariernya besar, sebaiknya perempuan memilih pekerjaan yang memiliki kelenturan waktu. "Tapi ini tidak gampang," katanya. Wiwiek menilai keputusan Pimpi sebagai pilihan yang baik. "Berhenti sementara untuk mencari pekerjaan yang lain," ujarnya.
Pekerjaan yang mengharuskan datang ke kantor, kata alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, mulai dirasakan berat ketika perempuan melahirkan. "Ini tantangan pertama," ujarnya. Cuti yang hanya diberikan tiga bulan sebenarnya belum memenuhi ketentuan undang-undang yang mengatur pemberian air susu ibu secara eksklusif selama enam bulan.
Dalam kondisi seperti ini, Wiwiek menyarankan, perempuan sebaiknya tidak terlampau mengutamakan ego pribadi. "Jangan minta perlakuan istimewa terus-menerus," katanya. Misalkan meminta pulang lebih awal. "Perempuan juga harus memikirkan kepentingan perusahaan." Sebenarnya, ia melanjutkan, kondisi seperti ini bisa dikelola rapi jika telah menetapkan rencana menjelang habisnya cuti melahirkan.
Setelah lepas dari kewajiban menyusui, tantangan selanjutnya adalah membesarkan anak. Kondisi ini menuntut perempuan kreatif menggunakan waktu. Waktu bertemu dengan anak atau liburan harus diatur dengan manajemen yang apik agar kepentingan keluarga tak dilanggar dengan dalih pekerjaan.
Menurut Wiwiek, sukses perempuan berkarier juga tak lepas dari perhatian manajemen perusahaan. Fenomena perempuan bekerja menyusui atau ibu bekerja dengan jarak rumah-kantor yang jauh sangat lazim di kota besar, seperti Jakarta. Kondisi sosial ini, Wiwiek menambahkan, tidak bisa diabaikan oleh manajemen. "Perusahaan juga harus ikut memikirkan," katanya.
Wiwiek menilai perusahaan harus menghitung jumlah karyawan perempuannya. "Ini menjadi pertimbangan membuat kebijakan," katanya. Beberapa perusahaan yang ramah terhadap karyawan perempuan, kata dia, telah menyediakan ruang khusus dan menyediakan perawat bayi. "Ini sangat mendukung ibu bekerja." Perusahaan seperti ini, menurut Wiwiek, layak dipilih perempuan.
Adapun kemampuan manajemen bagi perempuan juga bisa didukung perusahaan. Specialist communication dari IBM Indonesia, Christy Pattipeiluhu, mengatakan perusahaannya memberikan modul referensi untuk pengembangan karyawannya. "Termasuk manajemen menjadi ibu yang sukses," katanya saat ditemui di kantornya di kawasan Thamrin, Rabu pekan lalu.
Konsultan manajemen dari IM Consulting, Iskandar Setionegoro, mengatakan tren bekerja ke depan akan banyak memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu pertimbangannya adalah banyaknya karyawan perempuan yang menjadi orang tua tunggal. Kondisi ini membuat perusahaan menerapkan kebijakan flexible-time dan kerja secara remote (kerja di mana saja), hasil tinggal dikirim lewat surat elektronik atau rapat dengan menggunakan fasilitas webcam.
AKBAR TRI KURNIAWAN