TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada kata menyerah untuk mendapatkan momongan. Itulah semangat yang dimiliki Rita Juwono, kini 40 tahun. Rahimnya sempat kosong selama belasan tahun selama pernikahannya, sejak 1995-2007. Bersama pasangan hidupnya, ia sudah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan keturunan, baik yang medis maupun non-medis. Selain kawin suntik alias inseminasi buatan, program bayi tabung (invitro fertilization, IVF) di beberapa klinik dan rumah sakit sempat pula diikuti. Toh, hasilnya nihil.
"Saya mencoba inseminasi sekali dan bayi tabung sampai empat kali, tapi belum berhasil juga," kata Rita dalam seminar tentang bayi tabung di Jakarta, Rabu pekan lalu. Kegagalan tak membuatnya berputus asa. Setelah mencari informasi kanan-kiri, Rita mendapat kabar tentang laboratorium khusus bayi tabung di Rumah Sakit Bunda Jakarta yang disebut Morula IVF. Pucuk dicinta ulam tiba. Di sini, ia dkenalkan dengan metode baru, yakni extended culture blastocyst. Ini adalah pengembangan sel telur atau embrio di luar rahim dalam jangka waktu yang lebih lama.
“Metode ini bertujuan untuk memperoleh embrio unggulan sehingga tingkat kemungkinan hamil semakin tinggi,” ujar Arief Boediono, peneliti sekaligus Direktur Laboratorium Embrilogi di Klinik Morula IVF RS Bunda pada seminar yang sama. Setelah embrio dipilah dan dipisahkan, embrio langsung dibekukan (kriopreservasi) di suhu minus 109 derajat Celsius. Proses yang disebut frozen embryo transfer ini dilakukan sebelum pembuahan di luar rahim dilakukan.
Menurut Arief, teknologi tersebut terbilang paling baru untuk menghentikan proses produksi sel dalam tubuh manusia sehingga sel tidak rusak. Dengan teknologi ini, embrio unggulan bisa digunakan kembali saat si ibu ingin punya anak atau hamil lagi, bahkan 2 atau 3 tahun berikutnya. Tingkat viabilitas (kemungkinan hamil) mencapai 89,44 persen.
Setelah dilakukan pembekuan, Arief melanjutkan, embrio yang sudah dipilah tadi menjalani fase pelepasan cangkang alias assisted hatching. Caranya, cangkang embrio ditusuk dari sebelah kanan searah jarum jam agar tidak mengenai kromosom yang berada di sebelah atas. Semua dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran berteknologi tinggi dan steril. Tindakan ini dilakukan agar embrio mudah menempel di rahim setelah proses pembuahan di luar rahim dilakukan.
Metode ini resmi diterapkan tahun lalu setelah beberapa tahun sebelumnya dilakukan uji coba dan selalu berhasil. “Pelepasan cangkang sangat membantu meningkatkan proses implantasi, terutama pada pasangan yang menggunakan embrio beku," kata Arief, "Tingkat keberhasilan hamilnya bisa dua sampai tiga kali lipat.”
Salah satu pasien uji coba yang berhasil mendapatkan momongan dengan teknik itu adalah Rita. Di antara prosesnya, setelah sperma suaminya diproduksi, sperma tersebut diambil untuk dianalisis dan dipilih yang paling berkualitas. Sperma yang baik adalah yang aktif bergerak dan berjalan lurus. Setelah sperma yang top didapat, baru disuntikkan ke dalam sel telur.
Langkah terakhir agar proses bayi tabung berhasil adalah memantau proses pembuahan di dalam laboratorium, sebelum dimasukkan kembali ke dalam rahim. Dengan sistem pencitraan khusus, yakni spindle imaging system, pemantauan tersebut dapat melihat perkembangan pembuahan serta analisis potensi keadaan janin ke depannya. “Apakah sehat atau tidak, bila tidak sehat harus dihentikan,” ujar Arief.
Setelan prosesnya beres dilewati selama 5 bulan, Rita akhirnya hamil pada 2008. Tidak hanya satu bayi didapat, rahimnya mengandung dua anak: satu laki-laki dan perempuan. Kini, kedua buah hatinya berusia tiga tahun. Menurut Rita, kedua anaknya itu berasal dari enam embrio miliknya yang diteliti Arief bersama timnya.
“Tiga embrio pertama gagal, lalu diambil satu dari tiga embrio yang tersisa dan berhasil,” kata Rita sumringah. Setelah punya dua momongan, kini ia belum terpikir untuk punya anak lagi dengan teknik bayi tabung. "Saat ini saya kok tidak mikir yang lain lagi, selain bahagia sudah punya dua anak yang sehat dan cerdas,” katanya.
CHETA NILAWATY