TEMPO.CO , Jakarta:Berawal dari kebiasaan pedagang Kroasia mengikatkan scarf untuk menahan bukaan kerah baju mereka di abad ke-17, dasi kupu-kupu atau bow tie menjadi bagian dari tren pakaian pria hingga kini. Bow tie, pada awalnya disebut dengan cravat, yaitu sebutan Kroasia dalam bahasa Prancis—tempat bow tie diperkenalkan dan mengalami perkembangan pesat pada abad ke 18 sampai dengan ke 19.
Pada awal perkembangannya, dasi kupu-kupu disebut sebagai lambang status sosial, dan juga menandakan profesi tertentu. Arsitek, pengacara, profesor universitas, guru, dan politisi merupakan profesi yang secara tradisional dikaitkan dengan penggunaan bow tie. Belakangan, pelayan pun mempergunakan dasi sejenis—mengingat keberadaan mereka pada pesta-pesta formal dengan kode pakaian black tie—sehingga wajib mengenakan setelan tuxedo.
Kini, bow tie sudah menjadi aksesoris alternatif bagi mereka yang ingin tampil beda. Warna dasi kupu-kupu pun tidak lagi terpaku pada warna polos. Ada begitu banyak pilihan model, warna, corak, dan jenis bow tie. Mulai dari polkadot dengan bahan rajut, hingga dasi kupu-kupu berbahan sutra bermotif garis.
“Penggunaan bow tie itu memang gaya yang abadi karena trah dari cikal bakal high society,” ujar pengamat mode Sonny Muchlison kepada Tempo. Menurut Sonny, dasi kupu-kupu memang berasal dari kebudayaan anglo-saxon.
Populer terlebih dahulu di Prancis, bow tie belakangan juga banyak di pakai oleh bangsawan Inggris dalam jamuan resmi. “Seiring dengan perkembangan mode dunia, bow tie juga diadopsi oleh masyarakat Amerika Serikat,” kata dia.
Berdasarkan cara pemakaian, Sonny menyebutkan ada dua jenis dasi kupu-kupu yang ada hingga kini, yaitu, dasi yang diikat sendiri dengan simpul dan juga dasi kupu-kupu dengan aplikasi kain keras berbentuk dasi kupu-kupu ditambah tali dan tempelan. “Jadinya hanya tinggal ditempel dan diselipkan pada kerah baju,” ujar dia. Panjang dan pendeknya pun, bisa diatur.
Preferensi untuk memilih diantara dua jenis itu, kata Sonny, tergantung pada masing-masing orang. “Kalau mau simpel, tentu bisa memilih dasi yang setengah jadi. Sedangkan bagi mereka yang metroseksual mungkin tidak masalah jika harus berlama-lama mengikat dasi di depan cermin,” kata Sonny.
Aditya Aziz, 24 tahun, membenarkan pendapat Sonny. “Gue punya dua-duanya, tapi memang lebih puas kalau bisa mengikat bow tie itu sendiri. It feels really good,” ujar Adit. Pegawai perusahaan art event organizer ini, sudah tiga tahun memakai bow tie secara rutin ke kantor. “Kebetulan memang cocok sama gue dan banyak masukan positif dari orang-orang sekitar,” ujar Adit yang memiliki delapan bow tie.
Bos dan rekan kerjanya, tidak keberatan jika Adit, tampil sedikit berbeda dengan bow tie di kantor. “Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang baru, dan tidak ada reaksi negatif,” ujar Adit. Sang bos, bahkan mendukung Adit untuk meneruskan kebiasaannya memakai bow tie ke kantor.
Adit mengaku mendapatkan inspirasi dari film-film Hollywood—contoh, The Great Gatsby ataupun American Hustle, hingga serial Glee yang sangat populer itu, ataupun blog fashion soal penggunaan dasi kupu-kupu. “Gue pikir bow tie itu, lucu dan menarik, makannya gue coba. Sekarang ini jadi signature style gue, dan kayaknya semua orang bisa pakai kok,” ujar dia.
Sonny tidak sependapat dengan Adit. Menurut dia, dasi kupu-kupu itu belum tentu cocok dengan semua orang. “Lebih baik dipakai oleh mereka yang punya leher jenjang. Kalau yang lehernya pendek, seperti Danny De Vito misalkan, jadinya tidak cocok,” kata Sonny. Dia juga mengingatkan para pria yang ingin menggunakan bow tie untuk memilih jenis dasi yang tepat dan sesuai dengan proporsi leher dan wajah. “Harus seimbang, dan jangan sampai mengganggu dagu.”
Ini berarti, ada baiknya mereka yang punya wajah kecil, tidak memilih dasi dengan sayap kupu-kupu yang sangat lebar. Begitupun sebaliknya. “Yang harus diingat, tidak semua orang cocok dan percaya diri untuk memakai bow tie,” ujar dia. (Baca juga:4 Aktor Berbusana Terbaik di Golden Globe 2014)
SUBKHAN