TEMPO.CO, Jakarta - Riset kesehatan dasar atau Riskedas 2013 yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dari Kementerian Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia sekitar 19,6 persen.
Tjandra Yoga Aditama dalam surat elektroniknya Senin, 23 Februari 2015 menyebutkan data Riskesdas 2013 tersebut sebagai acuan yang bisa dilihat masyarakat Indonesia tentang masalah gizi yang dibadi dalam kategori gizi kurang (underweight), kurus (wasting), pendek (stunting), dan kegemukan (obese).
"Data ini menunjukan beban ganda yang terjadi dalam masalah gizi di Indonesia yaitu masih ada kasus gizi kurang dan juga kasus gizi berlebih," kata pria yang biasa disapa Tjandra ini.
Dia juga menjelaskan, "Secara nasional pada tahun 2013, prevalensi kurus dan sangat kurus masih cukup tinggi yaitu masing-masing 12,1 persen dan 5,3 persen. Adapun masalah tubuh pendek atau stunting -- dalam istilah gizi menerangkan kondisi dimana tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya-- pada balita di Indonesia saat ini masih cukup serius sekitar 37,2 persen," ujar Tjandra.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan ini juga menerangkan tentang prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sekitar 10,2 persen. Untuk prevalensi bayi dengan panjang badan kurang dari 48 sentimeter atau bayi yang terlahir apendek sekitar 20,2 persen.
Secara nasional, menurut Tjandra, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen.
"Untuk prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 hingga 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk dan 1,6 persen obesitas. Prevalensi penduduk dewasa berat badan lebih 13,5 persen dan obesitas 15,4 persen," katanya panjang lebar.
HADRIANI P.