TEMPO.CO, Jakarta – Perancang busana Ivan Gunawan mengingatkan agar motif tenun kain tradisional Indonesia jangan sampai diproduksi dengan cara dicetak (print).
"Jangan sampai motif tenun itu di-print. Karena, kalau motif tenun itu di-print, pada akhirnya para pengrajin akan makin ditinggalkan, karena nge-print harganya lebih murah," kata Ivan di Makassar, Sabtu malam, 6 Juni 2015.
Ivan mengaku sedih ketika melihat motif-motif tenun tradisional, seperti songket, diproduksi dengan mesin pencetak. "Songket itu kan dibuat bisa hingga berbulan-bulan dengan harga yang cukup mahal. Kalau di-print, orang bisa beli murah. Pada akhirnya, orang tidak berminat membeli tenun," ujarnya.
Dia menilai kain-kain tenun tradisional Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan. Kualitas kain hasil tenun saat ini, ucap dia, sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu. "Kalau dulu, saya suka takut pakai tenun, karena takut luntur, kena cipratan air sedikit saja langsung pulau-pulau. Tetapi sekarang bahannya sudah oke banget," tuturnya.
Sedangkan untuk memastikan kenyamanan pemakai busana, Ivan mengaku melapisi busana yang dia rancang dengan vuring yang terbuat dari katun. "Kalau bahan tenun kan tidak menyerap keringat. Makanya, untuk koleksi ini, saya melapisi tenun dengan vuring katun, sehingga sangat nyaman untuk dipakai dalam keseharian," ucapnya.
Baca Juga:
Ivan merupakan satu dari sepuluh desainer nasional yang menampilkan karyanya dalam Beautiful Celebes Fashion Week 2015. Dia menggunakan tenun Sengkang, Sulawesi Selatan, untuk membuat koleksi bergaya modern dan santai yang bertema Samalona.
Celebes Fashion Week diselenggarakan dalam rangkaian pameran Fashion Female on the Move (Femme) 2015 yang berlangsung 3-7 Juni di Makassar. Dalam gelaran ini, para perancang menciptakan karya mereka dengan bahan dasar kain tenun sutra tradisional Sulawesi Selatan.
ANTARA