TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, Lily S. Sulistyowati mengatakan masih banyak warga Indonesia yang tidak adar memiliki penyakit asma. Akibatnya ketika berobat, mereka langsung harus dilarikan ke pelayanan umum rujukan. "Kebanyakan orang tak sadar menyandang asma. Hal ini menyebabkan tingginya angka rujukan dan pengobatan di fasilitas kesehatan masyarakat," kata dia dalam peluncuran program Healthy Lung di Jakarta, Selasa 26 September 2017.
Padahal, sejumlah gejala bisa menjadi pertanda asma antara lain batuk dan mengi bekepanjangan (lebih dari dua minggu) dan kondisi ini lebih parah pada malam atau dini hari. Selain itu, napas terengah-engah, lesu dan tidur terganggu menjadi tanda lainnya seseorang menyadang asma.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, sekitar satu dari 22 orang menderita asma. Namun, hanya 54 persen yang didiagnosis. Dari jumlah itu hanya 30 persen kasus yang terkontrol baik. Tak heran Indonesia menduduki peringkat ke-5 untuk kematian karena asma di antara negara-negara Asia dan urutan ke-13 di seluruh dunia, menurut data badan kesehatan dunia (WHO). Baca: Menonton Film Horor, Bukti Seorang Pria Telah Dewasa?
Atas dasar itulah, Kementerian Kesehatan bersama PT AstraZeneca Indonesia bekerjasama meluncurkan program Healthy Lung. Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan penanganan serta memperbaiki manajemen penyakit pernapasan di puskemas dan rumah sakit.
"Tujuan kami untuk memberikan edukasi pada sekitar 5.000 tenaga kesehatan yang kami prediksi akan menyasar kurang lebih 10 juta pasien," kata Pimpinan PT AstraZeneca Indonesia, Rizman Abudaeri dalam kesempatan yang sama.
Kemudian, untuk mengatasi kebutuhan diagnosa dini, program ini memfasilitasi pengembangan pusat inhalasi di lebih dari 300 puskesmas dan RSUD di Jakarta.
Baca Juga:
ANTARA