TEMPO.CO, Jakarta - Mengumpulkan biji kopi yang berserakan di tanah perkebunan jadi rutinitas Abed Nego Tonta, 69 tahun, saban pukul 6 pagi. Warga Desa Peana, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah itu telaten memungut satu per satu biji kopi dan menyimpannya di wadah kaleng yang disebut blek. Jika sedang beruntung, dalam sehari ia bisa membawa pulang satu blek kopi pungut seberat 3 kilogram. “Semakin banyak biji kopi berceceran di tanah, saya akan semakin senang,” ujar Tonta, sapaan akrabnya, kepada Tempo English, Mei lalu.
Wajar bila Tonta lebih senang memungut dibanding memetik kopi langsung dari pohonnya. Sebab, biji kopi yang berserakan di tanah ini istimewa. Biji kopi itu adalah “pilihan” mamalia hutan yang kebanyakan nokturnal alias aktif berkeliaran pada malam hari. Sebut saja tarsius –hewan endemik Sulawesi Tengah, tupai, kera, kuskus kerdil, tikus, juga kelelawar. Para hewan itu hanya menyantap daging kopi yang manis dan sudah masak, lalu melepeh atau membuang bijinya ke tanah. Warga lokal menyebut biji kopi pilihan ini toratima.
Tonta menjelaskan, toratima semula hanyalah konsumsi pribadi dan suguhan untuk tamu yang berkunjung ke Sigi. Kadang pula menjadi oleh-oleh khas daerah pelosok yang berjarak 6 jam perjalanan darat dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah ini. Namun kini, toratima sudah keluar kampung. Kopi ini bahkan menjadi andalan warung-warung kopi di Palu. Toratima juga menjadi primadona di Festival Kreatif Kopi Palu, yang digelar 20-21 Mei lalu. “Kopi ini punya keunikan yang mesti terus kami perkenalkan,” kata panitia festival yang juga pengusaha kopi, Yoseph Gustaf. Baca: Hari Kopi Sedunia, Apa Saja Cita Rasa Kopi?
Menurut Yoseph, Sulawesi Tengah sebenarnya punya potensi kopi lokal yang tak kalah dengan daerah lain. Selain toratima, ada juga kopi napu, kolawi, dan pipikoro. Masing-masing kopi tersebut punya keunikan tersendiri. Misalnya toratima, yang khas dengan rasanya yang manis dan pekat. Proses fermentasi oleh mamalia hutan juga membuat tingkat keasaman kopi berjenis robusta ini rendah, sehingga tidak membuat perut kembung.
Namun karena lokasi Sigi terpencil dan tidak mendapat akses komunikasi telepon seluler, pengembangan kopi toratima menjadi agak terhambat. Butuh waktu 3 jam dengan mobil ditambah 3 jam lagi dengan sepeda motor untuk mencapainya dari Palu. Rahmad menuturkan, sepeda motor jadi moda transportasi utama karena jalan menuju Pipikoro sempit dan berkelok. “Saat kami pertama kali masuk ke sana pada 2003, 63 persen warga Pipikoro masih tergolong miskin,” ujarnya. Baca: Coba Lima Kedai Kopi di Jabodetabek Ini
Kondisi masyarakat setempat yang masih terjerat kemiskinan kontradiktif dengan kekayaan alam Pipikoro. Itulah sebabnya organisasi nirlaba Karsa Institute dan Yayasan Kemitraan tahun lalu menginisiasi Program Peduli. Salah satu bentuk kegiatannya adalah Festival Kopi Pipikoro. Festival yang berlangsung di Pipikoro itu bertujuan mempopulerkan kopi Sigi seperti toratima. Adapun Festival Kreatif Kopi Palu berskala lebih luas, mencakup jenis kopi dari seluruh Sulawesi Tengah. Dalam festival, petani tak hanya beradu racikan terbaik, tapi juga mendemonstrasikan cara tradisional pengolahan biji kopi, serta berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait kopi.