TEMPO.CO, Jakarta - Tingginya anak muda menggunakan dunia maya perlu diwaspadai para orang tua. Salah satu kemungkinan buruk yang bisa dilakukan pengguna internet ini adalah melakukan tindakan perisakan kepada temannya. Anggota Divisi Riset Into The Light Indonesia Iqbal Maesa Febriawan mengatakan tradisi bully atau perisakan dulu hanya dilakukan di sekolah, namun dengan adanya dunia maya saat ini, perisakan bisa dilakukan lebih parah. “Dulu perisakan tradisional dilakukan anak sepulang sekolah, sekarang perisakan bisa dilakukan di dunia maya dengan mekanisme yang berbeda,” katanya dalam acara Kick Off kampanye #BalasYangBaik di @america, Jakarta Senin 3 Oktober 2017.
Menurut Iqbal, perisakan di dunia maya saat ini sulit terlacak siapa pelakunya. Alasannya lebih banyak terjadi dalam bentuk verbal seperti rumor, olok-olok, ejekan bahkan penjebolan akun. Perundungan di dunia maya pun tidak hanya dilakukan di media sosial, namun juga saat anak-anak bermain game online dan melalui aplikasi obrolan seperti Whatsapp. Baca: Faktor Pemicu Anak dan Remaja Menjadi Pelaku Bullying
Iqbal menduga adanya perundungan di dunia maya masih terkait dengan perundungan yang dilakukan secara langsung atau tatap muka. “Faktor lainya cyberbullying karena orang tua dan sekolah kebanyakan tidak siap mengantisipasinya, dibandingkan bullying tradisional,” katanya.
Ada beberapa dampak yang akan terjadi akibat adanya tindakan perundungan itu. Si anak bisa saja mengalami performa akademis yang semakin buruk atau perilaku si anak pun bisa berubah. “Dampak lain yang paling parah, cyberbullying bisa akibatkan anak bunuh diri,” kata Iqbal.
Juru bicara Komunitas Action, Ghivo Pratama, komunitas yang bergerak di bidang anti kekerasan terhadap anak, mengatakan perundungan terjadi karena ada ketimpangan sosial yang terjadi di antara anak-anak itu. Ada kemungkinan mereka pun belum paham atas berbagai perbedaan toleransi yang ada. “Toleransi itu bisa berupa agama, suku, budaya, warna kulit, dan juga sosial ekonomi,” kata Ghivo. Baca: Kenali 7 Tanda Anak Potensial Menjadi Pelaku Bullying
Menurut Ghivo, ada beberapa aturan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya perisakan di dunia maya itu. Bisa dengan meningkatkan kepekaan bagi orang tua dan guru untuk melihat kondisi perisakan yang dilakukan. Ia menyarankan agar sekolah peka melihat interaksi yang terjadi antara siswa di lingkungan sekolah. Di rumah pun begitu. Para orang tua harus kembali menanamkan budaya diskusi dengan anak. Caranya bisa dalam momen makan malam, melakukan obrolan santai untuk mengetahui aktivitas anak seharian, mengajak anak lebih terbuka khususnya jika ada masalah. “Bisa juga dengan menyiapkan konselor sebaya yang merupakan teman-teman anak itu sendiri,” katanya.
Data Organisasi Dunia di Bidang Anak (UNICEF) pada 2016 menyebutkan sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 hingga 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying. Beberapa tindakan di antaranya adalah doxing atau mempublikasi data personal orang lain, cyber stalking atau penguntitan di dunia maya yang berujung pada penguntitan di dunia nyata. Ada pula perilaku revenge porn atau penyebaran foto dan video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan intimidasi dan pemerasan.