TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Divisi Riset Into The Light Indonesia Iqbal Maesa Febriawan mengatakan berkonsultasi dengan teman sebaya bisa menjadi solusi sementara untuk mengatasi perisakan atau bullying. Menurut Iqbal, korban bullying, khususnya dalam perisakan di dunia maya bisa dianggap remeh oleh orang tua atau guru. “Kalau seperti ini, si korban tentu akan mencari temannya untuk ‘curhat’,” katanya di Jakarta Senin 4 Oktober 2017.
Sebelumnya, Data Organisasi Dunia di Bidang Anak (UNICEF) pada 2016 menyebutkan sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 hingga 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying. Beberapa tindakan di antaranya adalah doxing atau mempublikasi data personal orang lain, cyber stalking atau penguntitan di dunia maya yang berujung pada penguntitan di dunia nyata. Ada pula perilaku revenge porn atau penyebaran foto dan video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan intimidasi dan pemerasan.
Ada beberapa dampak yang akan terjadi akibat adanya tindakan perundungan itu. Si anak bisa saja mengalami performa akademis yang semakin buruk atau perilaku si anak pun bisa berubah. “Dampak lain yang paling parah, cyberbullying bisa akibatkan anak bunuh diri,” kata Iqbal. Baca: Bullying Bisa Akibatkan Bunuh Diri
Iqbal mengatakan korban perisakan biasanya akan memilih orang sebaya yang dianggap memahami kondisinya serta yang dipercaya. Walau begitu, tidak banyak orang yang bisa menjadi konsultan untuk sesamanya. Menurut Iqbal orang-orang yang bisa menjadi teman curahan hati teman-temanya minimal harus memiliki kemampuan tidak menghakimi teman yang curhat kepadanya. “Sebaiknya teman itu juga adalah teman yang bisa mendengarkan dengan baik, tanpa memberikan respon kepada korban perisakan,” katanya.
Iqbal mengingatkan bahwa bila ada korban perisakan yang mau berkonsultasi dengan anak-anak seumuran, namun tidak menemukan di lingkungan teman-temannya, ada beberapa konsultan remaja yang sudah dilatih untuk mendengarkan keluhan para korban ini. Tentu informasi itu bisa menjadi bukti untuk melaporkan kejadian perisakan untuk dilaporkan kepada pihak yang lebih otoriter, seperti guru, orang tua, atau bahkan pihak berwajib.
Juru bicara Komunitas Allied Children Against Violence (Action), Ghivo Pratama, komunitas yang bergerak di bidang anti kekerasan terhadap anak, mengatakan perundungan terjadi karena ada ketimpangan sosial yang terjadi di antara anak-anak itu. Ada kemungkinan mereka pun belum paham atas berbagai perbedaan toleransi yang ada. “Toleransi itu bisa berupa agama, suku, budaya, warna kulit, dan juga sosial ekonomi,” kata Ghivo.
Organisasi yang bergerak dalam isu anti bullying, Campaign.com, merilis gerakan #BalasYangBaik. Dalam gerakan itu, tim ini mengajak lebih banyak orang untuk tidak melakukan tindak kekerasan di dunia maya. Gerakan ini pun mengajak seluruh anakmuda untuk menciptakan dan menjaga internet yang bebas dari tindakan perisakan. Community Engagement Officer Campaign.com, Dinda Wahid mengatakan gerakan ini ingin memberitahu secara luas mengenai perisakan di dunia maya di kalangan remaja. “Bagaimana menghindarinya, mencegah hingga menghadapinya,” kata Dinda.
Dinda pun mengajak lebih banyak anak muda berkomitmen untuk berhenti berkomentar buruk di media sosial dan membalasnya dengan kalimat-kalimat yang baik. Menurut Dinda, timnya saat ini sedang melakukan tur ke sekolah dan kampus untuk menyebarkan gerakan #BalasYangBaik.