TEMPO.CO, Jakarta - Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, keamanan jangka panjang penggunaan rokok elektrik belum terverifikasi.
Lebih lanjut, BPOM menganjurkan masyarakat untuk mewaspadai adanya rokok elektrik dengan kandungan narkoba. Anjuran BPOM itu, menurut Sisca, makin menguatkan simpulan bahwa rokok elektrik bukan solusi teraman untuk berhenti merokok tembakau.
“Jika seseorang sudah menjadi pencandu berat rokok tembakau, maka carilah bantuan profesional. Bukannya beralih ke rokok elektrik,” ungkapnya.
Bantuan profesional yang dimaksud Siska, klinik berhenti merokok yang tersedia di beberapa rumah sakit seperti di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Baca: Kontroversi Rokok Elektrik, Aman atau Tidak? Ini Kata Ahli
“Layanan berhenti merokok itu menggunakan kombinasi antara hipnoterapi, psikoterapi, dan pengobatan yang didesain untuk mengobati adiksi terhadap nikotin,” Siska mengulas.
Diakui Siska, membebaskan seseorang dari ketergantungan rokok tidak bisa instan. Mengingat, untuk memastikan bahwa perokok aktif benar-benar berhenti dan tidak kembali ke pelukan tembakau butuh waktu hingga berbulan-bulan. Selain itu, untuk mengembalikan kondisi pembuluh darah seperti sebelum terpapar tembakau butuh waktu sekitar 10 tahun.
Fakta lain yang tak kalah memprihatinkan, meski harga rokok merangkak naik, nyatanya itu tak mengurangi minat masyarakat untuk membakar lintingan tembakau. Siska menguatkan fakta itu dengan data. Ia mengatakan, proporsi perokok di Indonesia masih sangat tinggi. Baca: Bahaya Rokok Tingwe, Jenis Rokok Kesukaan Jenderal Soedirman
“Hampir 90 persen anak muda berusia sekitar 30 tahun yang terkena serangan jantung adalah perokok. Ini sinyal bahaya yang harus kita sadari bahwa kebiasaan merokok sangat berbahaya. Maka sangat penting bagi pencandu untuk berhenti segera. Saya percaya manusia sebenarnya bisa hidup tanpa rokok,” ujarnya mengakhiri perbincangan.