TEMPO.CO, Jakarta - Dunia maya heboh ketika beredar permintaan maaf dari Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft Belanda. Dia mengaku telah melebih-lebihkan informasi terkait pribadi, kompetensi dan prestasinya selama di Belanda.
Banyak pencapaian yang ternyata hanya klaim belaka. Pengakuan itu menyebabkan KBRI Den Haag mencabut penghargaan yang telah diberikan pada Dwi Hartanto.
Di dunia psikologi, ada istilah mythomania atau kebohongan patologis. Seorang pembohong patologis tak hanya melakukan kebohongan untuk mengelabui orang lain, tapi juga membohongi dirinya sendiri hingga ia percaya kebohongan itu benar. Mereka berbohong untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Apakah Dwi Hartanto mengalami gangguan mythomania? Belum tentu. Jawabannya baru bisa diketahui melalui pemeriksaan psikologis yang mendalam. Yang pasti, seorang pembohong patologis, yang terbiasa membual, lama-lama sulit membedakan mana bualan dan kenyataan.
"Jika tidak ditangani lingkungan sekitarnya, mythomania bisa bertambah parah, tidak bisa bedakan mana yang benar dan salah," kata psikolog Ajeng Raviando.
Kadang kala, penderita mythomania sudah sangat lihai dalam berbohong sampai bahasa tubuhnya tidak menunjukkan hal yang tak wajar saat sedang membual. Bila sudah terbiasa bohong, mereka juga bisa membual soal hal-hal sepele.
Menurut psikolog Ratih Zulhaqqi, orang yang memiliki gangguan psikologis ini kadang melakukannya tanpa sadar. Malah mereka tak merasa bersalah karena sudah terlalu sering berbohong dan jadi hal yang wajar.
"Sifatnya candu, dia harus selalu melakukan itu untuk membuat dirinya puas."
ANTARA