TEMPO.CO, Jakarta - Ada gangguan psikologis yang membuat orang tak bisa berhenti berbohong, istilahnya adalah mythomania atau kebohongan patologis. Seorang pembohong patologis tak hanya mengelabui orang lain, tapi juga membohongi diri sendiri hingga dia yakin kebohongannya adalah sebuah kebenaran.
Saking seringnya membual, penderita gangguan mythomania juga bisa tidak sadar bahwa mereka sedang berbohong. Apa yang menyebabkan orang bisa terkena gangguan ini? Psikolog Ratih Zulhaqqi mengatakan mythomania bisa terjadi pada orang-orang yang kurang percaya diri. Kebohongan demi kebohongan dilontarkan untuk membuat dirinya terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Baca: Mau Bohong? Pikir Lagi, Simak Efeknya pada Tubuh
"Mythomania juga bisa terjadi pada orang yang sulit menerima kenyataan, sering melakukan peniadaan kondisi, jadi menutupi kondisi," kata Ratih saat dihubungi Senin 9 Oktober 2017.
Kebohongan itulah yang jadi senjata untuk menutupi kondisi sebenarnya. Faktornya bisa macam-macam, bisa juga berawal dari gangguan di otak. "Harus ada pemeriksaan neurologis di area tertentu," ujar dia.
Menurut psikolog Ajeng Raviando, mythomania bisa diawali dari kebiasaan berbohong sejak kecil tanpa pembekalan moral bahwa kebiasaan itu tidak benar. "Karena dia merasa tidak apa-apa, orang percaya sama kebohongannya, lama-lama dia menganggap itu wajar," katanya. Baca: 7 Jurus Membuka Topeng Si Dia yang Suka Bohong
Contoh sederhana, seorang anak mengaku-aku sebagai juara satu, padahal dia sama sekali tidak mendapat peringkat di kelas. Ketika orangtua dan lingkungan mendiamkan, dia merasa kebohongannya sah-sah saja dilakukan.
Wajar bila orangtua membiarkan buah hatinya bicara hal yang sesuai kenyataan karena sewajarnya anak-anak memiliki imajinasi sendiri. Tapi, orangtua harus waspada bila anak masih melakukan hal itu saat usianya sudah di atas 6-7 tahun.
"Orangtua harus sudah memberitahu anak kalau dia tidak boleh berbohong, tidak boleh mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya," katanya. Para orang tua pun perlu menyikapinya harus dengan cara baik-baik sehingga anak tidak trauma.
"Anak harus tahu kebohongannya bisa merugikan, walau dia merasa tidak merugikan orang lain, tapi bisa ada sanksi sosial seperti dijauhi teman," sambung dia.
Tindakan bohong sempat dibicarakan dunia maya ketika beredarnya permintaan maaf dari Dwi Hartanto, mahasiswa doctoral di Technische Universiteit Delft Belanda. Dia mengaku telah melebih-lebihkan informasi terkadi pribadi, kompetensi dan prestasinya selama di Belanda. Banyak pencapaian yang ternyata hanya klaim belaka. Pengakuan itu menyebabkan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag mencabut penghargaan yang telah diberikan kepada Dwi Hartanto.
BISNIS.COM