TEMPO.CO, BOGOR - Pengguna narkoba dengan jarum suntik dan pasien cuci darah atau hemodialisa memiliki risiko tertinggi terinfeksi hepatitis C. begitu diungkapkan Ketua Persatuan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dr Irsan Hasan SpPD saat Pelatihan Hepatitis C yang digelar Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) di Bogor, 3-4 November 2017.
"Tahun 1995 pernah dilakukan penelitian di RS Jantung Harapan Kita, pada pasien pasca operasi baypass jantung 50 persen sakit jantungnya sembuh namun pasien malah terinfeksi hepatitis C," kata Irsan Hasan.
Baca juga:
Akan tetapi, setelah donor darah dilakukan skrining dengan baik, dari data nasional tercatat jika faktor risiko penularan hepatitis C tertinggi terjadi pada pengguna narkoba suntik mencapai 27,52 persen, karena menggunakan jarum suntik secara berulang,
"Pada tahun 1999 lalu, RSCM melakukan pendataan terhadap Pengguna Napza Suntik yang terinfeksi hepatitis-C sebesar 74,9 persen, kemudian tahun 2003 jumlahnya meningkat tajam menjadi 92,2 persen terjangkit hepatitis C," kata Irsan yang juga menjabat Divisi Hebatobilier Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI /RSCM .
"Pasien dengan latar belakang pengguna narkoba suntik dan hemodialisa yang saya tangani rata-rata terinfeksi hepatitis C karena penggunaan alat yang dilakukan berulang," kata dia.
Baca juga: iPhone X , Cincin Berlian, Wisata Karibia? Mana yang Lebih Asyik?
Korban berisiko tinggi terinfeksi hepatitis C penularannya karena faktor keluarga pengidap hepatitis C (13,83 persen), pasca operasi (8,54 persen), hubungan seks tidak aman (7,51persen), tranfusi darah (6,84 persen), tato atau tindik (5,89 persen), tenaga kesehatan (4,42persen), dan transplantasi organ (0,37persen), "Beda halnya dengan hepatitis B penularan yang paling banyak terjadi pada anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B," kata dia.
Irsan Hasan juga mengatakan, diagnosa penyakit hepatitis di Indonesia hingga tahun 2014 lalu masih sangat rendah masih dibawah 20 persen, sedangkan penanganan untuk pencegahan dan pengobatan pasien terinfeksi hepatitis C hanya sekitar 1 persen,
"Negara kita sangat rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara konfilk perang seperti Afganistan bahkan Vietnam sekali pun Indonesia masih kalah,"kata dia.
Disebutkan, untuk pengobatan penyebaran virus hepatitis C terbagi menjadi 6 (enam) genotype. Di Indonesia hingga tahun 2013 menggunakan genotype 1 (satu) pengobatannya menggunakan Interteron, Pengobatan injeksi Interteron dilakukan sekali seminggu dalam satu tahun.
"Obat ini pun masih sangat mahal satu kali suntik biayanya Rp 2,5 juta per minggu, dalam sebulan biaya yang diperlukan 10 juta dan satu tahun dana yang dikeluarkan pasien mencapai 120 juta," katanya sambil menambahkan soal efek samping yang terjadi dalam pengobatan injeksi Interteron ini. Yaitu dari batuk, meriang, emosi tinggi dan paling parah berujung depresi, sehingga banyak pasien yang terhenti ditengah jalan, "Risiko mahal, efek samping banyak yang paling parah adalah tingkat keberhasilanya pun sangat kecil," kata dia. Baca: Satu dari Sepuluh Orang Indonesia Terindikasi Infeksi Hepatitis C
Sementara itu, Kepala Seksi Hepatitis Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langaung (P2PKL) Kementrian Kesehatan dr Regina Sijagat mengatakan saat ini pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 90 miliar untuk penanganan hepatitis.
"Fasilitas pengobatan gratis pasien hepatitis C saat ini bukan hanya menggunakan BPJS, tapi juga bisa menggunakan pengobatan langsung dari Kemenkes juga, meski dana dialokasikan masih kecil yakni 90 miliar," kata Regina.
Dikatakan juga, Kemenkes RI pun telah menyiapkan lahanan pemeriksaan dan pengobatan gratis untuk pasein terinfeksi hepatitis C di enam provinsi di Indonesia, yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra dan Kalimantan, "Sedangkan khusus di Jakarta sudah ada 13 Rumah Sakit yang melayani pasien dengan kasus ini," kata Regina.