TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dr. Purnamawati Sujud, Sp. AK, MMPed menyatakan, bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik atau disebut resistensi antimikroba (antimicrobial resistance, disingkat AMR). Alhasil, seorang yang diserang penyakit tak bisa sembuh hingga kehilangan nyawanya. Hal itu akan terjadi bila pasien terlalu sering mengkonsumsi antibiotik yang sebenarnya tak diperlukan tubuh.
“Dulu kalau terinfeksi, dengan mudah kita basmi infeksinya dengan antibiotik. Sekarang karena bakterinya sudah sakti, pakai antibiotik apa pun tidak mati. Akibatnya, banyak pasien yang tak bisa diselamatkan,” kata Purnamawati usai media briefing di ruang rapat Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu, 8 November 2017.
Dalam laman Centers for Disease Control and Prevention, www.cdc.gov, tertulis bahwa bakteri yang sensitif dapat dibunuh dengan antibiotik. Namun, bakteri yang bertahan berpotensi tumbuh dan berkembang biak. Selain itu, infeksi akan bertahan lama dan menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya bila antibiotik tak bekerja.
Disebutkan juga bahwa beberapa infeksi yang resisten bahkan bisa menyebabkan kematian.
Baca juga:
Simbol dan Makna Bleketepe di Pernikahan Kahiyang Ayu
Mau Pesta Pernikahan Megah ala Song Joong Ki? Siapkan 2,4 M
Kahiyang Ayu Menikah, Hadirkah Para Mantan di Pernikahannya?
Purnamawati menjelaskan, bakteri adalah makhluk hidup. Salah satu sifat makhluk hidup, yaitu dapat berkembang, sehingga selalu berupaya untuk bertahan hidup. Hal itu berarti, bakteri selalu mengalami perubahan secara perlahan atau berevolusi. Bahayanya, evolusi bakteri akan bertambah cepat bila seseorang mengonsumsi antibiotik untuk membasmi penyakit yang disebabkan karena virus.
“Perubahan itu menjadi cepat kalau kita membasmi mereka (bakteri) membabi buta,” ujarnya.
Karenanya, lanjut Purnamawati , penyakit karena virus tak perlu disembuhkan dengan antibiotik. Sebab, virus bukanlah makhluk hidup seperti bakteri yang dapat berkembang biak secara mandiri. Adapun penyakit karena virus yang dimaksud, seperti demam biasa, diare tanpa darah, sakit tenggorokan, batuk, dan pilek.
Menurut Purnamawati , antibiotik diperlukan untuk mengobati penyakit yang disebabkan karena bakteri. Bakteri dapat menyerang organ tubuh apa pun dan menyebabkan infeksi. Misalnya, infeksi bakteri salmonella typhi (demam tifoid atau tipes), infeksi paru-paru (pneumonia), infeksi pada selaput pelindung otak (meningtis), dan infeksi saluran kemih.
Namun, antibiotik yang diberikan tak boleh berlebihan untuk menghindari AMR. Purnamawati berujar, ada dua jenis antibiotik, yakni antibiotik spektrum luas dan antibiotik spektrum sempit. Antibiotik spektrum luas diberikan ketika bakteri yang menginfeksi sudah resisten atau pasien menderita sakit berat.
“Kalau orang awam bilangnya antibiotik kelas berat atau antibiotik yang ampuh,” katanya.
Selanjutnya, antibiotik spektrum sempit dikonsumsi oleh pasien yang menderita sakit tertentu. Singkatnya, pasien mengonsumsi antibiotik spesifik untuk membunuh bakteri yang sedang berada dalam tubuh.
“Misalnya, kalau bakteri di kulit cukup antibiotik amoxicillin,” katanya.
Sebuah ulasan yang dilalukan oleh Lord Jim O’Neill bersama timnya memperkirakan, sebanyak 10 juta orang di dunia meninggal setiap tahunnya pada 2050. Hal itu bila laju AMR meningkat 40 persen dan tak ada respons global dari negara. Ulasan tersebut berjudul ‘Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the health and wealth of nations’ yang terbit Desember 2014.
Dalam ulasan yang sama tercantum bahwa kematian warga di Asia karena AMR diperkirakan 4,7 juta pada 2050.