TEMPO.CO, Jakarta - Tak disangkal, mungkin banyak di antara kita sering beralasan malingering atau berpura-pura sakit. Entah itu karena malas bekerja, malas kuliah, atau malas pergi, maka pura-pura sakit biasanya ampuh dijadikan alasan.
Malingering seperti yang ditulis Psikiater Klinik Psikosomatik dr Andri SpKJ FAPM dalam tulisannya berjudul 'Malingering atau Berpura-Pura Sakit', tidak dianggap sebagai gangguan jiwa.
Baca juga:
3 Alasan Mengapa Kita Harus Makan Perlahan, Cek Penelitiannya
Begini 5 Gaya Para Pemain Sepak Bola Internasional Saat Bepergian
Mengintip Rumah Setya Novanto, Karakternya Modern dan Transparan
Disebutkan, dalam Buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental atau DSM-5 edisi terakhir terbitan American Psychiatric Association menyatakan malingering menerima kode V sebagai salah satu kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian klinis.
"Motivasi untuk malingering biasanya bersifat eksternal misalnya menghindari tugas militer atau pekerjaan, mendapatkan kompensasi finansial, menghindari tuntutan pidana, atau mendapatkan obat-obatan terlarang," tulis Andri.
Jadi malingering adalah perilaku yang disengaja untuk tujuan eksternal yang diketahui. Ini tidak dianggap sebagai bentuk gangguan jiwa atau psikopatologi, meski bisa terjadi dalam konteks gangguan jiwa lainnya.
Ada empat hal yang menjadi tanda seseorang melakukan malingering seperti ditulis dalam DSM-5, yaitu :
1. Masalah medikolegal (misalnya, seorang pengacara merujuk pasien, seorang pasien mencari kompensasi karena cedera)
2. Perbedaan yang ditandai antara tekanan yang diklaim dan temuan objektif
3. Kurangnya kerjasama selama evaluasi dan dalam mematuhi perlakuan yang ditentukan
4. Adanya gangguan kepribadian antisosial