TEMPO.CO, Jakarta - Prevalensi insomnia di Indonesia meningkat. Fakta tersebut diungkapkan dalam studi baru pada Jurnal Tidur yang ditulis perusahaan spesialis kesehatan dalam tidur Am Life.
Dari jurnal tersebut diketahui, wabah sulit tidur atau insomnia yang terjadi secara global mempengaruhi sekitar 150 juta orang di negara berkembang. Sementara itu, tingkat kesulitan tidur di Asia sudah mendekati angka yang terjadi di negara maju. Prevalensi insomnia di Indonesia dilaporkan 10 persen dari jumlah populasi atau sekitar 28 juta orang.
Tingginya angka insomnia tersebut, dikatakan memiliki kaitan dengan bertambahnya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan, seperti depresi dan kecemasan.
Baca juga:
Riset Baru: 3 Hal Ini Tanda Bahwa Gadget Sudah Mengancam Si Kecil
2 Jenis Syok yang Bisa Dialami Korban yang Jatuh dari Ketinggian
Dilema Penampilan di Dunia Karier, yang Cantik Tak Kompeten?
Meskipun banyak yang menganggap remeh, insomnia ternyata dapat mengakibatkan dampak serius terhadap kesehatan masyarakat. Termasuk memicu peningkatan nafsu makan sehingga menyebabkan obesitas dan diabetes, jantung koroner, hipertensi, gangguan imun sistem dan masih banyak lagi.
Hal ini juga berhubungan dengan gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan dan pikun. Di era modern, insomnia tidak hanya diderita oleh orang tua, tapi juga dialami oleh masyarakat usia produktif karena faktor gaya hidup masa kini, tekanan hidup, kafein, dan lainnya.
Dalam jangka panjang, orang dengan penyakit insomnia terancam mengalami penurunan produktivitas dan kualitas hidup dikarenakan krisis tidur.
Lew Mun Yee, pendiri Am Life International mengatakan, saat ini krisis tidur melahirkan sebuah gejala ‘ekonomi tidur’. Di pasaran, banyak produk yang berkaitan dengan ‘tidur yang lebih baik’, termasuk matras tidur, bantal, selimut, obat-obatan, pijat, dan lain-lain.
"Faktanya, pendapatan dari industri teknologi tidur pada tahun 2013 mencapai US$11,3 miliar, dan naik menjadi US$35,2 miliar pada 2015, serta diprediksi akan mencapai USS76,7 miliar pada tahun 2019," kata Lew Mun Yee dalam keterangan pers, Senin 4 Desember 2017.