TEMPO.CO, Jakarta - Dokter Spesialis Anak FX Wikan Indrarto mengatakan untuk memutus rantai penularan penyakit difteri perlu dilakukan Outbreak Respon Imunisasi (ORI) dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah Kejadian Luar Biasa difteri diumumkan. Ruang lingkup pemberian vaksin ulang itu meliputi seluruh anak balita di wilayah dimana kasus ditemukan. Luasnya ORI adalah pada wilayah KLB, minimal 1 wilayah puskesmas atau kecamatan, dan wilayah sekitar yang beresiko berdasarkan kajian epidemiologi. “ORI dilakukan pada semua anak, tanpa melihat riwayat imunisasi DPT sebelumnya dan tanpa menunggu hasil laboratorium,” kata Wikan dalam pesan singkat Selasa 12 Desember 2017.
Program ORI dilakukan pada semua anak di daerah KLB mulai umur 1 sampai 19 tahun, tanpa melihat status imunisasi. Jadwal pelaksanaan ORI adalah 0, 1 dan 6 bulan dengan menggunakan vaksin yang sesuai dengan usia anak dan jenis vaksin yang tersedia. Baca: Survey: Pria Indonesia Lebih Rajin Berolahraga, Apa Tantangannya?
Panduannya adalah anak usia 1 sampai 5 tahun menggunakan vaksin Pentabio produksi Bio Farma yang berisi kombinasi 5 macam vaksin, yaitu DTwP/DTaP-Hb-HiB. Untuk anak usia 5-7 tahun menggunakan vaksin DT yang berisi DTaP dan untuk anak usia 7 tahun diberikan Td yang berisi Tdap. Selain itu, juga meningkatkan cakupan imunisasi dasar menggunakan Pentabio produksi Bio Farma yang berisi DTwP/DTaP-Hb-HiB atau DPT tunggal yang berisiri DTwP/DtaP.
Vaksin difteri untuk orang dewasa memiliki jenis yang berbeda dengan vaksin difteri untuk anak. Vaksin difteri dewasa menggunakan vaksin Td/Tdap, misalnya BOOSTRIX®, yaitu vaksin DPT dengan reduksi antigen dan pertusis. Dalam vaksin Tdap menggunakan komponen pertusis aseluler, yaitu bakteri pertusis yang dibuat menjadi tidak aktif, sehingga jarang menyebabkan demam. Vaksin ini diberikan beberapa kali sejak usia 2-18 tahun, yaitu pada 5, 10-12 dan 18 tahun. Baca: Foto Setya Novanto Buat Pria ini Sadar Menderita Sleep Apnea
Wikan mengatakan agar lebih efektif vaksin yang dibuat dari bakteri mati ini sebaiknya diberikan setiap 10 tahun sekali pada seumur hidup. Seperti pada kegiatan imunisasi massal pada umumnya, wajib pula dilakukan pemantauan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), yang mungkin juga terjadi pada kegiatan ORI. “Pemantauan ini tentu harus dilakukan pelaporan kepada Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat,” katanya.
Peran serta masyarakat dalam menghadapi difteri harus ditingkatkan, juga untuk imunisasi DPT-HB-Hib pada bayi di bawah 2 tahun, dan cakupan BIAS DT dan Td pada anak sekolah dasar atau sederajat. Baca: Malas Bersihkan Riasan Wajah, Awas Infeksi Mata dan 4 Dampak lain
Selain itu, masyarakat juga melaporkan segera ke puskesmas jika ada penderita dengan gejala mirip difteri. “Jangan lupa memakai masker jika batuk atau bersin. Membudayakan hidup bersih dan sehat, serta melibatkan peran lintas sektor dan stakeholder di luar kesehatan,” katanya. Hal ini untuk memberikan informasi tentang penyakit difteri dan pencegahannya, berupa imunisasi DPT dan dasar lengkap.