TEMPO.CO, Jakarta - Akhir-akhir ini Filipina dan Indonesia dihebohkan oleh kejadian yang terkait dengan dua vaksin, yaitu dengue dan difteri. Dua kejadian ini seperti memberi angin bagi kelompok anti vaksin untuk semakin memojokkan vaksin dengan alasan kebanyakan seperti vaksin tidak aman, atau vaksin tidak berguna.
Di Filipina, isu anti vaksin dengue berawal dari adanya keterangan pers yang dikeluarkan oleh perusahaan vaksin, Sanofi, tertanggal 30 November 2017. Dinyatakan bahwa vaksin bisa menyebabkan kasus dengue yang lebih berat pada mereka yang belum pernah terkena infeksi dengue (seronegatif). Baca: Gaya ala Lolita Jadi Ciri Khas The Sacred Riana, Apa Hobinya?
Terjadilah kehebohan di Filipina. Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sri Rezeki, mengatakan di Filipina, vaksin dengue sudah masuk program untuk anak sekolah. “Artinya, Lebih dari 730.000 anak sudah divaksin. Pemerintah juga sudah memesan stok vaksin untuk tahun depan yang akan kadaluarsa Agustus 2018,” kata Sri Rezeki dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras, 19 Desember 2017 di Jakarta.
Karena rilis itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Filipina memutuskan vaksin dihentikan dulu penjualan, distribusi dan penggunaannya. Sri Rejeki menilai kasus di vaksin di Filipina ini sangat politis karena dari kabar yang didapatnya, Mantan Presiden Filipina juga sempat dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kasus ini.
Di Brazil, vaksin dengue dihentikan bagi yang belum pernah terinfeksi, tapi vaksin tidak dihentikan peredarannya. Global Dengue and Aedes Transmitted Disease Consortium (GDAC ) di Korea Selatan mengatakan bahwa vaksin dengue masih bermanfaat untuk kesehatan masyarakat. Terkait kasus ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga masih melakukan sidang dan belum mengeluarkan keputusan akhir terkait pernyataan vaksin dengue ini. Baca: Studi : Suami Zaman Now Masih Berharap Istri jadi Inem
Bagaimana di Indonesia? Kondisi di Indonesia berbeda dengan di Filipina. Di sini, vaksin dengue belum jadi program pemerintah yang masuk ke sekolah. Vaksin dengue baru tersedia di sektor swasta, sehingga cakupannya belum luas seperti di Filipina. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sempat mengeluarkan pernyataan untuk menangguhkan vaksin dengue sampai vaksin dipelajari lebih lanjut. “Namun ini hanya imbauan kehati-hatian saja, karena yang punya kewenangan untuk menangguhkan adalah BPOM,” ujar Sri.
Sri melanjutkan, Satuan Tugas (Satgas) Imunisasi IDAI sudah bersidang. Akhirnya dianjurkan bahwa vaksin bisa diberikan kepada individu yang sudah jelas pernah kena infeksi dengue (seropositif). “Kalau tidak tahu, dites dulu antibodi IgE anti dengue. Kalau positif bisa divaksin, kalau negatif jangan,” kata Sri.
Sri menyarankan bahwa orang tua perlu terus memantau anak-anak yang baru diberi vaksin. Beberapa akan merasakan efek dari vaksin yang diberikan. “Kalau anak demam tanpa batuk pilek, apalagi sudah tiga hari, datanglah ke dokter supaya memastikan itu dengue apa bukan,” katanya.
Sri mengatakan isu bahwa vaksin dengue belum diregistrasi BPOM adalah bohong. Vaksin dengue sudah diregistrasi BPOM pada 30 Agustus 2016, dengan indikasi untuk anak usia 9-16 tahun. Vaksin diberikan dalam 3 dosis, dengan interval 6 bulan. Sesuai rekomendasi WHO, vaksin ini diperuntukkan bagi daerah endemis yang lebih dari 70 persen. Di Indonesia, seropositif dengue untuk anak usia 9 tahun ke atas sudah mencapai 82 persen. “Sudah memenuhi persyaratan menerima vaksin dengue,” katanya.
Sri Rejeki adalah ketua penelitian vaksin dengue di Indonesia. Penelitian selama 6 tahun ini sudah selesai pada September 2017. Penelitian dilakukan di Jakarta, Bandung dan Denpasar, dengan melibatkan lebih dari 1.800 anak. “Dalam enam tahun penelitian, tidak pernah ada dengue berat. Paling derajat 1 dan 2, dan tidak pernah berat,” kata Sri. Virus dengue dibagi menjadi empat tahap. Tahap 1 dan 2 lebih ringan dibanding tahap 3 dan 4.
Penelitian vaksin dengue ini juga dilakukan di Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina untuk kawasan Asia, dengan total sekitar 10.000 anak. Selain di Asia, penelitian ini juga dilakukan di 5 negara di kawasan Amerika Latin yang melibatkan 20.000 anak. Baca: Liburan Natal dan Tahun Baru, Nikmati Sensasi Disneyland di GI
Sanofi menganalisis, ada estimasi kalau vaksin dengue di-follow up sampai 10 tahun untuk anak seronegatif ada penambahan 2 kasus berat setiap 1.000 kasus atau 5 perawatan setiap 1.000 kasus. “Menurut penelitian kami, vaksin ini benar-benar aman. Vaksin memiliki keamanan dan efikasi yang baik,” kata Sri. Tidak ditemukan syok atau efek samping. Umumnya orang yang mendapatkan vaksin ini hanya mengalami nyeri dan demam.
Pemberian vaksin alias imunisasi dilakukan untuk upaya pencegahan. Dengan pemberian vaksin, diharapkan seseorang bisa kebal imun sehingga terhindari dari penyakit tertentu. Dalam hal vaksin dengue zat ini untuk melindungi seseorang dari virus dengue yang mengakibatkan kasus demam berdarah. Di negara tropis, seperti Indonesia dan Filipina, kasus demam berdarah masih sangat banyak ditemukan, terutama saat bulan September-Desember. Pada saat itu, banyak sekali genangan air akibat musim hujan yang menjadi tempat berkembangbiak nyamuk pembawa virus dengue. Baca: 19 Kombinasi Makanan ini Membuat Perut Kembung
Imunisasi vaksin dengue bisa diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit itu. Agar berhasil, pemberian vaksin sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu minimal 95 persen.