TEMPO.CO, Jakarta - DPR sedang menggodok UU tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender ( LGBT ) dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Sejumlah fraksi DPR dikabarkan mendukung praktik LGBT tersebut. Kontroversi di kalangan anggota DPR dan masyarakat pun bermunculan.
LGBT merupakan orientasi seksual atau identitas gender yang digunakan oleh orang-orang non heteroseksual. Kemunculan komunitas LGBT banyak menuai kontroversi. Oleh karena itu, orang-orang dalam komunitas LGBT banyak menerima diskriminasi, khususnya dalam lingkungan sehari-hari. Baca: Pengawal Prabowo Tertembak, ini 3 Pengawal Pribadi yang Mendunia
Beberapa studi menemukan, gay, lesbian, dan biseksual memiliki tingkat kecenderungan mengidap penyakit mental seperti depresi yang lebih tinggi dibandingkan heteroseksual. Penyebab utamanya diduga karena diskriminasi dari lingkungan sekitar.
“Yang jelas, berbagai bentuk diskriminasi, pelecehan, dan perundungan tentu akan memberikan dampak psikologis terhadap komunitas LGBT. Mereka juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum,” ujar Psikolog A. Kasandravati Putranto saat dihubungi Tempo pada 22 Januari 2018. Baca: Bedanya Netizen Indonesia dan Singapura Lihat Toko Daring
Kassandra mengatakan jenis kelamin dan usia tidak mempengaruhi tingkat stres atau penyakit mental yang dialami para komunitas LGBT. Hal yang mempengaruhi kerentanan seseorang adalah kondisi kepribadian dan daya tahan orang tersebut.
Salah satu cara yang dapat dilakukan komunitas LGBT untuk mengatasi depresi, gangguan kecemasan, atau penyakit mental lainnya yang disebabkan oleh diskriminasi adalah berkonsultasi dengan ahli, baik psikolog maupun psikiater. Menurut laman National Health Service UK, berkonsultasi dengan ahli dapat membantu mengatasi masalah seperti cara merespon reaksi negatif dari lingkungan sekitar, rasa percaya diri yang rendah, gender dysphoria, keinginan untuk bunuh diri, dan lain-lain. Baca:6 Alasan Cinta Pertama Sulit Dilupakan, Anda Mengalaminya?
Soal terapi yang akan diterapkan pada penderita penyakit mental, Kasandra mengatakan bahwa pasien harus melalui asesmen (penilaian) terlebih dahulu. “Setiap tindakan intervensi harus melalui proses asesmen dahulu untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan (pasien). Dengan demikian, proses intervensi akan menjadi berbeda-beda,” ujar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut.
AMERICAN PSYCHOLOGICAL ASSOCIATION | NHS | PSYCHOLOGY TODAY | MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA