TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, khususnya stunting alias pendek atau kerdil. Stunting merupakan prediktor rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dampaknya menimbulkan risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa. Hal ini membuat pencegahan dan penanggulangan stunting menjadi sangat penting.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menerangkan bahwa stunting merupakan manifestasi dari kegagalan pertumbuhan (growth faltering) yang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Pencegahan dan penanggulangan stunting harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran dan berlanjut sampai anak berusia dua tahun. Baca: Viral Video Mpok Alpa, Bahagiakan Istri dengan Cara Mudah ini
Intervensi yang paling menentukan adalah mempersiapkan seorang calon ibu. Caranya dengan memberikan pelayanan kepada ibu hamil secara maksimal dan memastikan persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. "ASI Eksklusif diberikan, diawali dengan inisiasi menyusui dini dan pemantauan pertumbuhan perkembangan dilakukan secara terus menerus oleh tenaga kesehatan perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan,” kata Anung pada puncak peringatan Hari Gizi Nasional ke-58 di Auditorium Siwabessy Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Kamis 25 Januari 2018 dalam keterangan pers yang diterima Tempo. Baca: Ahok Gugat Cerai, Akhirnya Happy Ending? Intip Ramalan Suhu Naga
Tema besar Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari tahun ini adalah “Mewujudkan Kemandirian Keluarga dalam 1000 HPK untuk Pencegahan Stunting”, dengan slogannya adalah adalah “Bersama Keluarga Kita Jaga 1000 "Hari Pertama Kehidupan”. Baca: Pengawal Prabowo Tertembak, ini 3 Pengawal Pribadi yang Mendunia
Anung menambahkan, bahwa masalah gizi anak yang berdampak pada stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil seringkali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga maupun masyarakat sebagai sebuah masalah yang harus dicegah dan diselesaikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebanyakan keluarga tidak memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan yang tepat, khususnya tekait bagaimana memilih, mengolah dan menyajikan makanan yang baik bagi keluarga. “Oleh karenanya menjadi penting menempatkan keluarga sebagai lokus maupun fokus tanggung jawab pemecahan persoalan gizi di masyarakat”, katanya.
Sebagai contoh data Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan kurang lebih dari 89,1 persen perempuan hamil yang mendapatkan tablet tambah darah, hanya 33,3 persen yang mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan. Contoh lainnya adalah belum semua anak usia 0-5 bulan mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara Ekslusif, data PSG 2016 menyebutkan hanya 54 persen yang menerima ASI Ekslusif. Baca: Ahok Gugat Cerai, Akhirnya Happy Ending? Intip Ramalan Suhu Naga
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat khususnya keluarga, membutuhkan pelayanan konseling ASI Ekslusif dan praktik-praktik pemberian makan serta pola asuh bayi dan anak yang tepat agar tercukupi kebutuhan gizinya. Lebih utama adalah bagaimana masyarakat bisa memberikan dukungan kepada ibu dan ayah untuk memberikan makanan yang tepat bagi buah hatinya.
“Sudah lebih dari setengah abad kita memperingati hari gizi, semoga peringatan tahun ini menjadi momentum penting untuk perbaikan gizi bangsa ke depannya. Harapannya, melalui interaksi dan sinergi (lintas sektor) mampu mewujudkan kemandirian keluarga Indonesia dalam menjaga 1000 hari pertama kehidupan generasi bangsa, sehingga stunting bisa kita cegah”, katanya.