TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa pelecehan seksual pasien perempuan oleh perawat laki-laki di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya cukup meresahkan. Pasalnya, kejadian tersebut terjadi di ruang pemulihan pasca operasi dengan kondisi korban dalam pengaruh obat bius. Setelah sepenuhnya dalam keadaan sadar, korban langsung melaporkan kejadian tersebut ke pihak rumah sakit.
Potensi tindak pelecehan seksual ternyata bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Hal ini diungkapkan Psikolog Klinis, Dra. A. Kasandra Putranto, Psi. kepada TEMPO.CO Jumat26 Januari 2018 pagi.
“Jangankan di rumah sakit, dimanapun terutama saat anggota keluarga berada dalam kondisi tidak berdaya, baik karena masih kecil, seorang perempuan, sedang sakit, ataupun kapabilitas terbatas(disabilitas) punya risiko besar atas tindak pelecehan seksual,” jelasnya.
Baca juga:
Heboh Pelecehan Seksual, Waspada Trauma Lanjutan pada Korban
Apakah Anda Menderita Aritmia? Begini Cara mendeteksinya
Sahabat Tapi Sering Bertengkar? Ini Dia 5 Alasannya
Kasandra melanjutkan, tentu harus ada sistem pengamanan dan keamanan untuk menghindari atau meminimalisir risiko tindak pelecehan seksual. Contohnya untuk kasus yang terjadi dirumah sakit, pastikan selalu ada anggota keluarga yang menjaga pasien rawat inap.
“Sebenarnya dalam prinsip penanganan kesehatan mental (misalnya sedang dalam Penanganan Psikoterapi) ada kode etik pula yang mewajibkan tenaga kesehatan untuk menganjurkan agar pasien ada yang mendampingi, kecuali saat di kamar operasi,” lanjut Kasandra.
Lalu, apakah kita bisa mengetahui ciri orang yang ternyata seorang predator seksual?
Menurut Kasandra, jika dalam kondisi tidak berdaya tentu akan sulit. Ada karakteristik tersendiri untuk mencerminkan predator seksual. Terutama preokupasi, yaitu gangguan isi pikiran dimana pikiran penderita dalam waktu lama terpusat atau terfokus dalam satu fokus tertentu, “Dalam hal ini penderita fokus terhadap ide-ide seksual, biasanya menyimpan konten-konten seksual,” ucap Kasandra. Itu ciri pertama.
Kedua, biasanya predator seksual akan memilih korban yang kemungkinan mengetahui atau menyadari niat perbuatannya kecil. Karakteristik ketiga dari predator seksual adalah biasanya akan mengincar dan mengejar korban dengan sabar, penuh kasih sayang, menanamkan budi baik dan membangun hubungan emosional yang dalam sampai ketergantungan emosional.
Karena itulah, Kasandra wanti-wanti, hal kecil seperti kebiasaan menggunakan atau bermain smartphone hingga asik sendiri dan tidak siaga terhadap lingkungan sekitar perlu dihindari. Berpesta berlebihan hingga tidak sadar diri atau ketiduran di transportasi umum juga bisa memicu potensi tindak pelecehan seksual.
Indonesia masih sangat tertinggal dalam hal sistem pengamanan serta keamanan anak dan perempuan, menurut Kasandra. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan setidaknya untuk dijadikan proteksi diri,
“Banyak membaca untuk mengetahui perkembangan terkini, karena mereka(predator seksual) juga semakin canggih (dengan informasi terkini), lalu kembangkan diri jadi pribadi yang tangguh, kritis dan tahan terhadap potensi risiko. Bisa juga dengan mengikuti pelatihan proteksi diri seperti bela diri contohnya,” kata Kasandra.
Terpenting juga menurut Kasandra, adalah jaga komunikasi dengan keluarga, “Selalu kontak dengan orangtua atau keluarga, biasakan selalu mengabari keberadaan diri ke orang terdekat atau pihak keluarga,” kata Kasandra terkait pencegahan yang bisa dilakukan terhadap potensi tindak pelecehan seksual.