TEMPO.CO, Jakarta – Tak mudah bertahan di bisnis startup. Tapi banyak dari mereka juga yang terus bertahan, bahkan sukses.
Fakta ini terlihat di acara Food Startup Indonesia (FSI). FSI adalah sebuah acara yang digelar Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk meningkatkan subsektor kuliner dengan menghubungkan perusahaan rintisan (startup) kuliner kepada ekosistem kuliner terpada serta meningkatkan akses permodalan non perbankan.
Dua dari tiga pemenang di acara FSI itu berbagi pengalaman kepada TEMPO.CO dalam merintis perusahaan startup-nya tersebut. Adalah Lintang Wuriantari, founder dari Matchamu, dan Annisa Pratiwi, co-founder dari Ladang Lima. Lintang bersama rekannya, Dhilksta Olya, berhasil memenangkan peringkat pertama pada FSI 2017. Peringkat kedua ditempati oleh Raka Bagus dan Annisa Pratiwi. Sementara peringkat ketiga ditempati Yennie Tandaputra, founder dari Chillibags.
Baca juga:
Ini Rahasia Mengapa Ikan Bisa Menahan Lapar, Cek Risetnya
Pelecehan Seksual, Kenali 3 Ciri Predator Seksual dan Solusi Ahli
Cari Pacar? Pilih yang Punya Mata Cokelat, Bisa Lebih Dipercaya
Kesuksesan Lintang berawal dari tekad untuk menyajikan teh hijau bubuk (matcha) berkualitas untuk masyarakat Indonesia. Sebelum mendirikan Matchamu, Lintang bersama rekan-rekannya melakukan riset tentang teh hijau mulai dari dalam sampai luar Indonesia, seperti Cina Taiwan, Malaysia, Thailand, dan Jepang.
Lintang mengakui, banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk memulai sebuah perusahaan rintisan. Ia mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki pendirian teguh. Pendirian itulah yang akhirnya membawa Lintang dan rekan-rekannya pada titik sekarang ini.
“Saya ini tipenya, kalo bahasa Jawa-nya itu MPC, mboh piye carane. Jadi, harus bisa. Setiap kali kita bikin startup, kita akan menemui halangan dan tantangan setiap hari, mulai dari shortage of supply, masalah keuangan, distribusi, networking. Tugas (bagi perusahaan) yang mau bertahan adalah mengalahkan tantangan itu,” ujar Lintang saat ditemui di acara “Kickstart Food Startup Indonesia” pada Jumat, 26 Januari 2017.
“Saya pun door to door ngetokin distributor, saya ngetokin retail. Jadi, saya bukan (model) yang terima aja. Saya lari pokoknya selama saya bisa. Karena, saya ingin masyarakat Indonesia minum teh yang bagus banget. Kita ingin menjadikan ini tren. Kalau kita terlalu pelan, nggak ada efeknya,” tambahnya.
Keluarga dan orang-orang terdekat juga menjadi motivasi utama bagi Lintang untuk terus berusaha. “Selain untuk Matchamu, yang menguatkan adalah (usaha) ini dilakukan untuk orang-orang di sekitar Matchamu, tim Matchamu, keluarganya Matchamu. Jadi, kita berjuang bersama. Kalau Matchamu semakin baik, maka kondisi timnya pun semakin bahagia, semakin sehat, semakin bahagia. Kalau melihat saya tidak bahagia, ya mboh piye carane saya harus bahagia,” ujar Lintang yang pernah mencoba usaha restoran tersebut.
Annisa juga mengakui bahwa untuk memulai perusahaan startup, diperlukan mental yang kuat dalam menghadapi tahap jatuh bangun suatu usaha. Ia dan suaminya pernah memiliki perusahaan agensi digital sebelum akhirnya beralih ke subsektor pangan. Dalam proses transisi tersebut, Annisa dan suami mengalami beberapa kesulitan, khususnya dalam mengedukasi masyarakat tentang produk glutten free yang belum populer pada masa itu.
“Jadi, sebenarnya kita sudah melalui masa itu (selama) 4 tahun lebih (masa sulit membangun startup). Kita melalui masa di mana kita ngomong glutten free, orang nggak ada yang ngerti. Kita udah jatuh bangun banget, lah. Orang nggak ada yang nerima,” ujar Annisa saat ditemui di Luminor Hotel, Jakarta.
Selain tekad dan mental yang kuat, ide kreatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam usaha startup juga diperlukan. “Kita sudah cukup berdarah-darah mengedukasi tepung. Kita mengedukasi orang untuk beralih ke glutten free itu susah, makanya banyak yang tidak tertarik untuk beralih ke tepung singkong. Makanya kita sediakan produk turunannya (cookies),” ujar Annisa.
MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA