TEMPO.CO, Jakarta – Melawan kanker sebanyak dua kali? Tak ada yang bisa yang membayangkannya. Tapi bagi Megawati Tanto, wanita berusia 72, ini kondisi tersebut harus dialaminya.
Megawati Tanto, mungkin merupakan salah satu wanita dari sekian banyak pejuang hidup yang berjuang melawan kanker yang menimpanya. Menyebut dirinya sebagai survivor atau penyintas, Mega tidak mengenal kata lelah dalam perjuangannya menghadapi kanker sebanyak dua kali. Baca: Kolorektal, Kanker Kedua yang Mengancam Pria, Kenali 4 Tandanya
Kisahnya berawal pada 2007. Tahun tersebut mungkin menjadi tahun berat yang harus Mega jalani, terutama saat dokter menyatakan bahwa ada kanker yang menyerang kolon atau usus besarnya. Awalnya ada darah segar yang keluar saat buang air kecil, ia pun memeriksakan diri ke dokter, “Saya mengalami pendarahan, hanya sekali. Yang keluar itu darah segar ketika mau pipis. Tidak ada tanda sakit, nyeri atau semua tanda kanker kolon seperti BAB yang tidak teratur. Itu tidak saya rasakan,” ceritanya kepada TEMPO.CO melalui telepon, 2 Februari 2018 lalu.
Setelah melakukan kolonoskopi, yaitu peneropongan pada usus besarnya, atas anjuran adiknya, akhirnya diketahui bahwa terdapat polip pada usus besarnya yang telah berubah ganas menjadi kanker stadium tiga.
Tindak operasi pun segera dilakukan, kemudian lanjut dengan kemoterapi sebanyak enam kali. Lanjut lagi dengan terapi lanjutan, yang sebenarnya adalah perawatan untuk kanker stadium empat. Karena itu pula, berbeda dengan pasien pada umumnya yang melakukan pengobatan kemoterapi dua kali dalam enam minggu, Mega mendapatkan pengobatan sebanyak tiga kali dalam enam minggu.
Ini juga dilakukan karena penyakit ITP(Idiophatic Thrombocytopenic Purpura) yang pernah dideritanya saat muda. ITP merupakan sebuah kondisi dimana jumlah sel darah merah seseorang berkurang. Baca: Apa Menu Sarapan Favorit Orang Indonesia?
“Saat saya kemoterapi, ITP itu kembali lagi, ‘kan. Karena pada waktu itu trombosit drop terus, jadi kalau mau kemo saya harus opname dulu 3-5 hari,” ungkap Mega. Seakan belum cukup, Mega harus mengkonsumsi steroid untuk masalah ITP-nya tersebut. Namun ternyata steroid tidak baik untuk kondisi kankernya. Sedangkan, ia tidak bisa kemoterapi jika tidak mengkonsumsi steroid terkait masalah ITP-nya, “Itu saya kayak maju, salah mundur salah,” kenang Mega saat menceritakan perjuangan dalam proses perawatannya.
Kemudian pada 2010, saat kontrol kondisi kanker colon yang sudah dinyatakan sembuh, ternyata Mega juga kemudian terdiagnosis kanker paru. “Saat kontrol kanker kolon yang sudah dinyatakan sembuh itu, saya minta PET Scan. Ternyata ada kanker paru, ” lanjut Mega.
Mega kembali harus menjalani operasi dan rangkaian kemoterapi serta terapi lanjutan lainnya. Ia bahkan mengalami patah pada tulang iganya yang menyebabkan dirinya hanya bisa berbaring lurus di tempat tidur selama dua bulan.
Walaupun kaget dan sedih, namun Mega tidak terus menyalahkan keadaan atas ujian hidup yang diterimanya itu. Ia menyadari bahwa yang dialaminya saat itu salah satunya adalah akibat perilaku hidup yang dilakukannya dari muda. Mega rupanya tidak pernah mengkonsumsi sayur dan buah."Saya lebih suka kue atau cemilan, dan itu rutin sejak muda," katanya.
Jiwa semangat Mega yang menjadi dasar kekuatannya melawan kanker. Semangat itu pula yang disalurkannya untuk membantu sesama survivor atau penyintas kanker lainnya sebagai relawan. Mega bergabung dengan Cancer Information & Support Center(CISC). Kegiatannya, antara lain menemani para survivor saat menjalani kemoterapi atau mengunjungi langsung beberapa pasien lainnya. Baca: Kedondong Cocok untuk Diet? Bagaimana Memilihnya?
“Mereka ada yang marah, ada yang takut, ada yang merasa kesepian. Biasanya orang melewati proses ini pasti marah, baik dengan keadaan atau Tuhan, kemudian denial, baru mereka bisa menerima," katanya. Mega mengaku mendapat kepuasan saat menjadi relawan. "Itulah, Tuhan kasih saya sakit, tapi Tuhan kasih saya obat. Dan Tuhan kasih saya keluarga ini,” ungkap Mega mengenai keputusannya menjadi relawan kanker.
Mega melanjutkan, bahwa dukungan keluarga merupakan hal yang tak kalah krusial setelah semangat dari diri sendiri. Banyak pasien kanker yang makin merasa terpuruk karena tidak adanya dukungan dari lingkungan terdekat, baik keluarga atau orang terkasihnya.