TEMPO.CO, Jakarta - Gangguan bipolar (GB) mungkin masih dipandang sebagai suatu penyakit yang mencerminkan aib. Seseorang dengan penyakit ini sering disangkut-paut dengan sikap gila, sehingga masih banyak orang yang mungkin takut atau enggan untuk membantu seseorang dengan gangguan bipolar. Hal ini disebabkan salah satu gejala yang timbul pada penderita gangguan bipolar yaitu peralihan suasana hati secara cepat, dari rasa senang berlebihan menjadi sedih, atau sebaliknya.
Lalu, apakah jika Anda merasakan senang atau sedih yang berlebih menjadi tanda Anda mengalami GB?
Dokter sekaligus konsultan spesialis kejiwaan, Hervita Diatri, menjelaskan bahwa setiap orang berhak dan wajar untuk merasa senang serta sedih. Perasaan tersebut menjadi hal yang tidak wajar ketika tiga hal yang merupakan elemen dari gangguan bipolar mengalami perubahan. “Tiga elemen tersebut adalah perasaan, pikiran dan perilaku," kata Hervita saat menjadi narasumber acara seminar kesehatan memperingati World Bipolar Day 2018 pada 20 Maret 2018 di Jakarta. Baca: Siti Nurhaliza Melahirkan, Anak Perempuan Perpanjang Umur Ayah
Seseorang mengalami gangguan bipolar bila ketiga elemen ini mengalami perubahan secara bermakna, menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri dan sekitar, serta mengalami gangguan fungsi. Yang dimaksud dengan gangguan fungsi itu sendiri adalah fungsi peranan dalam aspek-aspek kehidupan. Seperti fungsi sosial, seseorang dengan gangguan bipolar cenderung menjadi tidak memiliki teman. Bahkan berhenti dari pekerjaan atau sekolahnya. Jika dilihat dari aspek psikologis, penderita gangguan bipolar akan kehilangan perasaan sejahtera dan damainya.
Dokter yang akrab disapa Vita ini mengatakan bahwa penyebab dari GB memang masih sulit diterapkan. Hal ini karena gangguan bipolar dapat disebabkan dari beberapa banyak faktor, seperti faktor biologis, psikologi, sosial, kultural dan spiritual.
Para narasumber dalam acara seminar kesehatan: World Bipolar Day 2018 dan Launching Boneka Hagi pada 20 Maret 2018 di Jakarta.TEMPO/Anastasia Davies
Faktor biologis, menurut Vita, memang memegang peran besar yang dikaitkan dengan faktor genetik dan ketidakseimbangan zat pengatur di otak. Namun, bagi seseorang yang memiliki potensi gangguan bipolar berdasarkan riwayat genetik, dapat meminimalisir risiko tersebut dengan mengubah gaya hidup lebih sehat dan sadar serta peduli akan kebutuhan dan perasaan diri sendiri. “Sedangkan, secara psikososial, gangguan bipolar dikaitkan dengan pola asuh pada masa kanak dan berbagai faktor stres dari lingkungan sekitar,” kata Vita. Baca: Lady Gaga Mengidap Fibromyalgia, Pasien Sering Dianggap Gila
Menurut Vita, gangguan bipolar memiliki dua macam tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Gangguan bipolar dengan tipe 1 ditandai dengan episode mania. Pada periode ini, Anda mengalami suatu perasaan tertentu, misalnya Anda akan merasa gembira atau senang yang berlebih. Setelah itu ada episode hipomania alias memiliki perasaan rasa gembira atau depresi memiliki perasaan sedih. “Gangguan bipolar tipe 2 ditandai dengan episode hipomania, dimana penderita saat ini atau sebelumnya pernah mengalami gejala depresif yang dominan,” kata Vita. Seseorang dengan GB tipe 2 tidak pernah mengalami episode mania. Baca: Waspadai Ablasi Retina, Bisa Akibatkan Kebutaan Mata
Namun, kata Vita, seseorang yang mengalami satu kali episode diantara dua jenis gangguan bipolar tersebut tidak langsung didiagnosis menderita gangguan bipolar. Ada jangka waktu yang menjadi ukuran bagi para ahli/psikiater untuk mengindikasikan seseorang mengalami gangguan bipolar. “Untuk tipe 1 jika pasien mengalami pengulangan episode selama satu minggu baru kami indikasikan gangguan bipolar, sedangkan untuk tipe 2 jika pasien mengalami pengulangan episode dalam jangka waktu empat hari,” kata Vita