TEMPO.CO, Jakarta - Terkait meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memilih terapi yang berujung pada hasil maksimal untuk pasien, penggiat gerakan penyadaran tentang layanan kanker di Indonesia, dr Inez Nimpuno MPS, MA. menyebutkan bahwa masyarakat harus dikondisikan untuk tahu bahwa standar terapi medis harus ber basis bukti ilmiah atau Evidence Based Medicine (EBM).
EBM adalah hasil dari sebuah proses panjang uji ilmiah yang secara sederhananya bisa di golongkan menjadi dua tahap: tahap uji di laboratorium dan tahap uji pada manusia (uji klinis).
Baca juga:
Betulkah Ada Cell Cure di RSPAD Gatot Subroto? Ini Faktanya
Kenapa Uji Klinis Penting dalam Sebuah Terapi? Begini Jawabnya
Hindari Konsumsi Tiga Makanan Ini Bila Menyetir Perjalanan Jauh
Inez yang dihubungi TEMPO.CO melalui surat elektronik, ini juga menyebutkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus sadar bahwa praktek yang tidak ber-EBM akan menaruh pasien pada posisi yang lemah, tidak terlindungi.
“Adalah tugas bersama antara pemerintah, pihak swasta, tenaga medis, masyarakat sendiri dan industri untuk membekali masyarakat dengan ‘perlindungan’ ini,” kata Inez yang kini bekerja sebagai staff bidang kebijakan kesehatan, di Kementerian Kesehatan di Canberra, Australia,
Contoh praktek tidak ber-EBM adalah banyaknya praktek dan iklan pengobatan alternatif. Supaya tidak tertipu, pihak masyarakat (pasien) sendiri bisa mulai dengan bersikap kritis terhadap informasi layanan kesehatan yang diterima,
Caranya? Inez menyampaikan 3 hal. Pertama, jangan gampang percaya pada iklan, “Cari second opinion pada dokter lain,” katanya.
Kedua, laporkan ke pihak yang berwenang jika curiga ada tindakan terapi yang tidak benar. Ketiga, jadilah ‘pasien pintar’. "Penting untuk ‘self-help’, menghindari penyedia layanan kesehatan yang berpraktek semaunya, tanpa bukti ilmiah, asal ambil untung dan terkenal," kata Inez.