TEMPO.CO, Jakarta - Siswa Sekolah Menengah Pertama menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) sejak hari ini hingga 26 April mendatang. Rasa khawatir dan stres tidak bisa dihindari, khususnya bagi para anak yang mengikuti ujian. Terlebih, tahun ini sistem ujian nasional dilakukan menggunakan komputer.
Anak mungkin sering mengalami rasa khawatir yang berlebih ataupun stres menjelang UNBK. Hal ini bahkan, pada sebagian kasus, mengakibatkan anak jatuh sakit. Lalu, sebenarnya mengapa hal yang berkaitan dengan ujian dapat membuat anak sampai menjadi stres? Baca: Demi Hemat, Simak 5 Tips Keuangan agar Irit
Psikolog klinis, Kasandra Putranto menjelaskan terdapat empat faktor dalam prinsip penganalisaan suatu masalah, yaitu SORC yang terdiri dari Stimulus, Organism, Respones, Consequences. Dalam masalah ini, kecemasan dan rasa tertekan disebabkan karena adanya stimulus (S) menekan, yaitu UNBK. “Kemudian, fakor kondisi khas dari karakter anak atau pola pikir(O) menghasilkan respon berupa perilaku(R) cemas dan tertekan, yang kemudian menimbulkan konsekuensi(C),” kata Kasandra saat dihubungi TEMPO.CO pada 23 April 2018.
Kasandra melanjutkan bahwa orangtua harus mampu mengenali empat faktor tersebut dan mengatasinya. Ada beberapa cara yang ia sarankan. Pertama, dorong anak untuk mencicil belajar. Kemudian, Anda juga harus mampu menenangkan anak agar dapat mengatasi pikiran cemasnya. “Hal tersebut bisa dimulai dengan tidak selalu bertanya seputar pelajaran atau ujian, agar tidak menambah tekanan dan kecemasan pribadinya,” dan Kasandra juga mengatakan bahwa sebagai orangtua, Anda harus mampu memberikan contoh konsekuensi yang akan muncul sejak dini. Tujuannya, agar anak dapat melatih kemampuan pengendalian dirinya. Baca: Jumlah Asupan Sayur dan Buah Orang Indonesia Masih Memprihatinkan
Otak anak, kata Kasandra, belum mampu untuk mengambil keputusan dikarena fungsi eksekutifnya (prefrontal cortex) belum bekerja secara maksimal. Namun, di sisi lain, sistem limbik atau struktur di otak yang berhubungan dengan emosi penuh dengan dorongan. Akibatnya anak cenderung mengikuti kata hati, tanpa terlalu banyak berpikir konsekuensinya. “Oleh karena itu, sedari kecil sudah harus diajarkan untuk menahan diri, kebiasaan main, malas-malasan, juga tidak konsentrasi,” kata Kasandra.
Contoh, terapkan pemahaman bahwa tidak mandi badan akan bau, tidak bangun pagi akan telat sekolah, tidak belajar nilainya akan jelek, dan sebagainya.
Namun, Kasandra menyayangkan soal-soal ujian saat ini yang dianggap tidak realistis dan tidak sesuai dengan perkembangan otak anak. “Hal ini bisa berakibat anak Indonesia bukannya semakin tambah pintar, justru malah semakin terbebani otaknya,” katanya. Baca: Waspadai Dampak Terlambat Sarapan bagi Penderita Diabetes
Jika anak merasa semakin tertekan, hal itu akan membuatnya semakin depresi. Dan dengan depresi yang berlebih dapat memicu rasa ketidakbahagiaan. Sehingga proses belajar menjadi kegiatan yang menakutkan dan menyakitkan. Maka dari itu, penting untuk menyadari dan menjaga psikis anak selama proses pembelajaran, selain mendorong rasa tanggungjawabnya, “Kunci utama adalah memastikan anak bahagia dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” kata Kasandra.