TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat memperingati Hari Buruh pada 1 Mei. Masih banyak permasalahan pekerjaan yang perlu dibahas dalam memperingati Hari Buruh ini. Tidak hanya masalah upah dan waktu kerja bagi para buruh pabrik, namun juga bagi kalangan pegawai yang kebanyakan masyarakat urban, khususnya yang tinggal di Jakarta. Masih ada di antara mereka yang terpaksa bekerja lebih dari 8 jam per hari.
Salah satunya adalah Ira Putri, 27 tahun, yang bekerja sebagai human capital pada suatu perusahaan di Jakarta. Ira biasa bekerja selama total 15 jam sehari.
Senada dengan Ira, Metta, 26 tahun, juga pernah merasa terganggu kesehatan mentalnya. Metta, yang berprofesi sebagai editor video di salah satu perusahaan swasta, pernah merasakan kondisi mudah marah dan menangis akibat pekerjaannya. Sistem kerja bergilir atau shift membuatnya harus bekerja pada giliran malam sampai pagi keesokan harinya. Itu membuat kesehatannya terganggu. Baca: Cegah Diabetes Mulai dari Piring Makan Anda
Metta kemudian mengeluh ke atasannya dan dipindahkan ke shift pagi. Meski merasa senang, nyatanya ia harus bekerja lebih dari 8 jam sehari di shift ini. Setidaknya dua kali dalam seminggu Metta pasti akan lembur sampai 7 jam dari waktu seharusnya. "Waktu tidur 3-4 jam, kadang 2 jam saja," katanya.
Ilustrasi Pengejar Karier. Shutterstock
Lain lagi dengan Agus Wicaksono, seorang konsultan pajak di sebuah perusahaan konsultan. Agus menyebut pekerjaan seperti ini sebagai "Proyek Roro Jonggrang", karena datang secara tiba-tiba dan harus selesai secepatnya. Ia menjelaskan, proyek itu harus diselesaikan dalam waktu 24 jam, padahal normalnya adalah dua pekan. Baca: Kim Jong Un, Ada Toilet di Mobil Dinasnya? Alasan Kesehatan?
Agus menuturkan, dia biasanya memiliki beban kerja berlebih pada saat memasuki masa sibuk atau peak season. Kisaran waktunya dari awal Januari sampai akhir April. Demi memenuhi tenggat tersebut, Agus harus bekerja sampai melewati pukul 4 pagi, dan baginya hal itu normal saja. Terlebih jika berada pada masa sibuk, maka bekerja lembur pada akhir pekan adalah keniscayaan. Ia mengungkapkan, secara kontrak, dia bekerja selama 8 jam dari Senin hingga Jumat. Namun, dalam masa sibuk, ia bisa lembur sampai 4-8 jam.
Terakhir, ada pula Davina. Dia menuturkan, dia bisa bekerja 6 jam lebih lama dibanding seharusnya, meski sudah berada di kantor sejak pukul 9 pagi. Ia merasa hal itu sudah mengganggu kehidupan personalnya, karena seringnya ia menerima telepon saat sedang bersiap tidur atau saat sedang santai bersama teman-temannya. "Terus saya gusar, apalagi katanya penting," kata Davina, yang bekerja sebagai tenaga marketing pada sebuah perusahaan swasta.
Ada banyak cara orang-orang ini dalam melepas stres. Menonton drama Korea, misalnya, dilakukan Ira untuk menghilangkan stres akibat beban pekerjaan. Selain itu, ia gemar melakukan yoga untuk membuat pikirannya rileks. Adapun Metta memilih menghabiskan waktu di gym sebagai cara melepaskan stres akibat pekerjaan. Baca: Kim Jong Un Ganti Gaya Busana di 2018? Hitam atau Abu Monokrom?
Sedangkan Agus memandang cara yang cukup efektif membebaskan diri dari beban kerja berlebih adalah berani berkata tidak kepada atasan. Ia menjelaskan sikap tersebut bukan berarti menolak bekerja, tapi berkata tidak karena ia merasa overload. Sang atasan pun biasanya akan mengalihkan pekerjaan kepada orang yang masih lowong.
Berbicara dengan atasan pernah dilakukan Davina di kantor lamanya. Ia pernah berbicara soal tugas-tugas yang datang mendadak. Atasannya saat itu berjanji akan mencarikan jalan keluar, namun tidak ada dampak berarti, sampai ia memilih berpindah kantor.
Ilustrasi mencari pekerjaan. Shutterstock.com
Davina pun merasa tidak pernah mendapat upah atas lemburnya di kantor lamanya. Meski begitu, ia tetap mendapat fasilitas berupa antar-jemput ke rumah jika pulang melebihi pukul 22.00. Begitu pula dengan Metta, ia merasa tidak mendapat upah lembur, namun menerima fasilitas yang sama seperti Davina. Baca: 10 Kebiasaan Buruk Pria yang Acuhkan Gejala Masalah Kesehatan
Ira Putri mengaku tahu aturan soal pemberian upah lembur bagi para pekerja. Namun, di tempatnya saat ini, dia tak mendapatkan hal tersebut. Ia merasa, jika menanyakan hal itu kepada atasannya, hanya akan dijawab bahwa tak ada yang memintanya bekerja sampai larut malam. "Pasti dibilang kan bisa dari rumah (kerjanya). Ya, sama saja sih, kerja juga."
Berbeda dengan yang lain, Agus mendapat fasilitas upah lembur dari perusahaannya. Pada masa-masa sibuk, upah lembur yang diterimanya bisa lebih besar dari gaji pokoknya setiap bulan. Hal inilah yang membuat semangatnya bekerja meningkat berkali lipat. Baca: 44 Varian Gen Tingkatkan Risiko Depresi, Cek Penelitiannya
Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Herman Prakoso Hidayat, mengatakan pekerja dapat mengadukan pelanggaran aturan ihwal Undang-Undang Ketenagakerjaan kepada pengawas tenaga kerja di daerah. Para pekerja juga bisa mengadu langsung ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Herman menilai posisi pekerja yang lemah sering kali membuat pemberi kerja yang melanggar aturan bisa menekan pekerja. Ia pun meminta para pekerja lebih proaktif jika menemukan pelanggaran-pelanggaran seperti itu. "Kalau ada apa-apa, harus berani melaporkan," ujarnya.