TEMPO.CO, Jakarta – Peristiwa bom di Surabaya yang terjadi pada 13 dan 14 Mei 2018, tengah menjadi berita hangat di tanah air. Berbagai media dan pengguna media sosial seperti twitter sangat aktif membawakan berita terbaru dari kejadian tersebut.
Apakah berita yang dicuit bisa dipertanggungjawabkan? Diberitakan oleh EurekAlert, selama bencana, pengguna Twitter aktif cenderung menyebarkan kebohongan.
Studi meneliti para pengguna twitter saat terjadi pengeboman Boston Marathon, Hurricane Sandy. Hasilnya? Ditemukan sebagian besar pengguna gagal untuk memperbaiki kesalahan informasi.
Baca juga:
8 Jurus Bicara dengan Anak Soal Terorisme dan Kekerasan
Puasa 2018: Simak 6 Tips Puasa di Cuaca Ekstrem
Terorisme Tingkatkan Rasa Takut pada Anak, Orang Tua Ikut Andil?
Universitas Buffalo meneliti lebih dari 20.000 cuitan selama Badai Sandy dan pengeboman Boston Marathon. Studi yang dipublikasikan pada 11 Mei 2018 di jurnal Natural Hazards, meneliti empat rumor palsu. Masing-masing dua dari maraton dan topan, termasuk kebohongan yang terkenal tentang banjir New York Stock Exchange.
Peneliti memeriksa tiga jenis perilaku. Pengguna Twitter dapat menyebarkan berita palsu, mencari konfirmasi, atau meragukannya. Ini hasilnya:
1. Sekitar 86 hingga 91 persen pengguna menyebarkan berita palsu, baik dengan me-retweet atau "menyukai" posting asli.
2. Sekitar 5 hingga 9 persen berusaha untuk mengkonfirmasi berita palsu, biasanya dengan me-retweet dan menanyakan apakah informasinya benar.
3. Sekitar 1 hingga 9 persen menyatakan keraguan, seringkali dengan mengatakan bahwa tweet asli tidak akurat.
"Sepengetahuan kami, ini adalah studi pertama yang menyelidiki bagaimana pengguna Twitter sering menyebarkan kebohongan selama bencana terjadi. Sayangnya, hasilnya mengakibatkan situasi yang kurang baik," kata penulis utama studi ini, Jun Zhuang, PhD.
Bahkan setelah berita palsu itu dibantah di Twitter dan media berita tradisional, studi ini menemukan bahwa:
1. Kurang dari 10 persen pengguna yang menyebarkan berita palsu menghapus retweet yang salah.
2. Kurang dari 20 persen dari pengguna yang sama mengklarifikasi tweet palsu dengan tweet baru.
"Temuan ini penting karena mereka menunjukkan betapa mudahnya orang tertipu di saat paling rentan. Peran platform media sosial juga bermain dalam penipuan ini," kata Zhuang, yang melakukan penelitian serupa mengenai Badai Harvey dan Badai Irma.
Pada catatan yang lebih positif, penelitian ini menemukan bahwa sementara pengguna Twitter cenderung menyebarkan berita palsu selama bencana. Twitter dan platform media lainnya bergerak cepat untuk memperbaiki kesalahan informasi tersebut.
Selain itu, Zhuang mengatakan penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak mempertimbangkan pengguna twitter yang mungkin telah melihat cuitan asli dengan berita palsu dan memutuskan untuk mengabaikannya.
EUREKALERT | BUFFALO | ANGGIANDINI PARAMITA MANDARU