TEMPO.CO, Jakarta - Kasus perceraian di sejumlah daerah di Tanah Air dewasa ini mengalami peningkatan, terutama di daerah-daerah dengan populasi yang besar. Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat, pada 2013 angka perceraian di Jawa Timur sebanyak 83.201 perkara, pada 2014 naik menjadi 87.473. Meskipun pada 2015 turun menjadi 87.241, tetapi hingga September 2016 angka perceraian di Jatim sudah mencapai 51.000 perkara. Baca: Simak Makna Tanggal Pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle
Kemudian total angka perceraian di Jawa Tengah pada 2013 sebanyak 68.202, kemudian 70.037 perkara pada 2014 dan pada 2015 naik menjadi 71.774. Lalu Jawa Barat pada 2013 memiliki angka perceraian sebanyak 62.184 kasus, pada 2014 naik signifikan mencapai 67.129 perkara, pada 2015 naik lagi menjadi 70.519 perkara.
Di Ibu Kota, meskipun angkanya lebih rendah, tetapi juga mengalami tren yang meningkat. Angka perceraian di Jakarta pada 2013 berjumlah 8.837 kasus, pada 2014 sebanyak 9.731 perkara dan pada 2015 naik menjadi 10.359 kasus. Baca: Penghormatan Pangeran Harry kepada Putri Diana di Hari Spesialnya
Psikolog Kemang Medical Care, Rahmi Dahnan, mengungkapkan dari kasus-kasus yang ditanganinya selama ini keinginan perceraian lebih banyak diajukan oleh sang istri. Secara garis besar, katanya, ada tiga penyebab terbanyak perceraian dewasa ini, yakni perselingkuhan, pendapatan istri yang lebih besar serta suami yang tidak bekerja.
Perkembangan media sosial juga menjadi salah satu pemicu perselingkuhan. Dalam hal ini, suami dan istri memiliki peluang yang sama berselingkuh. Banyak suami atau istri keluar dari koridor pernikahan dengan menjalin hubungan perasaan dengan wanita atau pria lain setelah berinteraksi di media sosial. Apalagi jika masing-masing pihak tidak memegang aturan agama dengan kuat. Baca: Agar Kadar Gula Darah Tetap Stabil Selama Puasa
Selain melalui media sosial, salah satu yang paling berpeluang menjadi ‘orang ketiga’ adalah rekan kerja karena bertemu dan bersama setiap hari. Dalam konteks ini, pria memiliki lebih banyak kasus karena wanita biasanya setelah selesai bekerja lebih memilih pulang untuk mengurus rumah dan anak-anak. Kecenderungan perselingkuhan juga lebih besar bila komunikasi pasangan suami-istri juga tidak berjalan baik. Namun di atas semua kondisi itu, tetap saja pria memiliki kecenderungan lebih besar melakukan perselingkuhan dari wanita. “Secara agama juga laki-laki kan punya peluang untuk poligami, sedangkan wanita, bukan saja Islam, agama yang lain juga tidak membolehkan wanita memiliki lebih dari satu suami atau poliandri.” Baca: Agar Kekerasan terhadap Anak Hilang di Lingkungan Keluarga
Lebih lanjut, katanya, kasus perceraian dari gugatan sang istri dewasa ini juga kian sering karena semakin besarnya pendapatan atau wanita di dunia pekerjaan. Alhasil, ketika wanita merasa tidak dihormati lagi, mereka menggugat cerai suaminya. Penyebab perceraian lain adalah akibat sang suami yang tidak bertanggung jawab, terutama tidak memiliki pekerjaan.
Belakangan ini banyak suami yang hanya mengandalkan istri untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. “Sudah tidak memberi uang, tidak juga menunjukkan perilaku yang baik, malah suka galak, tidak mau membantu pekerjaan rumah dan sebagainya. Sampai tabungan istri pun habis,” katanya.