TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah aksi teror bom di Surabaya cukup mencengangkan. Tragedi yang mulai terjadi pada 13 Mei 2018 itu, mencengangkan karena pelaku tidak menjalankan aksi secara solo, melainkan dalam satu keluarga. Ayah, ibu, dan anak-anaknya. Orang tua yang terpapar paham radikal ini menyulap anak-anak mereka sebagai martir. Bocah-bocah tak berdosa itu pun hanya menjadi korban.
Baca juga:
Sukses Berkarier 10 Tahun, Tilik Rahasia SHINee
Mengapa Harus Ada Tanaman Ini di Kamar Mandi?
Mau Kulit Mulus dan Selalu Cantik? Ini 2 Kunci Rahasia Syahrini
Psikolog Ayoe Soetomo mengatakan, seharusnya keluarga berperan dalam menangkal paparan radikalisme kepada anak-anak. Namun, sulit bila orang tuanya pun terpapar paham tersebut. Sebaliknya mereka akan meracuni anak-anaknya dengan ajaran tersebut. “Sangat disayangkan memang hal ini terjadi,” tuturnya, Senin 28 Mei 2018.
Untuk pencegahan, Ayoe mengatakan, cara yang dapat digunakan adalah dengan melibatkan orang yang memiliki pengaruh signifikan dengan keluarga radikal.
Menurut Ayoe, sosok seperti kakek dan nenek kemungkinan bisa masuk ke keluarga itu. Mereka didorong untuk menyelamatkan anak-anak dalam keluarga itu.
Diakui oleh Ayoe hal itu tidaklah mudah menempuh cara ini, mengingat keluarga radikal cenderung menutup diri. Dia pun mendorong kepada orang-orang di sekitar keluarga harus lebih peka terhadap persoalan ini.
“Bukan hal itu mudah karena ada tantangannya tersendiri,” tuturnya.