TEMPO.CO, Jakarta - Persiapan mental anak perlu dilakukan pada setiap jenjang, baik Sekolah Dasar, SMP, maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Pasalnya, pada tiap level ada perubahan lingkungan, bertemu orang baru, dan terkadang anak masuk sekolah yang tidak diharapkannya.
Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menyebut bahwa selain secara psikologi, minat bakat, ataupun keinginan akademik, yang perlu disiapkan adalah kebutuhan anak.
Baca juga: Ini Dia 7 Jurus Sukses ala Rumah yang Bisa Mendongkrak Karir
“Kadang orang tua kebanyakan, kalau untuk jenjang SMA, tidak terlibat cukup jauh, tidak mendengarkan keluhan dari anak. Misalnya karena orang tua hanya ingin dekat saja, supaya terawasi dengan baik. Tetapi sang anak berpikiran sekolah tersebut tidak sesuai dengan minat bakat, atau potensi akademiknya,” katanya.
Erlinda menyarankan agar orientasi orang tua dalam menyekolahkan buah hati kembali pada tujuan pendidikan, yakni proses membangun pola pikir yang sesuai dengan zamannya, bukan sekadar berorientasi nilai.
Persiapan masuk SD biasanya jauh lebih berat daripada ke jenjang SMP atau SMA. Anak yang masuk SD, misalnya, harus mulai menyesuaikan dengan rutinitas bangun pagi. Persiapan ini jauh lebih mudah apabila anak sudah terbiasa dengan rutinitas tersebut sejak di TK atau playgroup.
Psikolog anak Tiga Generasi Saskhya Aulia Prima menyebut anak-anak perlu disiapkan untuk berpisah dengan orang tuanya saat sekolah, terutama bagi anak yang secara emosi belum siap. “Biasanya yang repot itu kalau anak kecil menghadapi kecemasan ketika harus masuk sekolah setelah libur panjang, atau untuk libur satu atau dua hari.”
Adapun untuk anak-anak di jenjang SMP atau SMA, gejala ketidaksiapan yang biasa terlihat seperti tidak memiliki mood belajar. Namun, apabila sampai timbul stress atau depresi, orang tua perlu lebih waspada karena biasanya faktornya bukan karena usai liburan.
Selama liburan pun orang tua harus tetap mengatur disiplin anak, seperti bangun pagi dan tetap ada kegiatan, atau juga bisa mengikutserakan dalam holiday program yang dapat meningkatkan skill anak. Anak juga harus beradaptasi satu-dua minggu sebelum benar-benar masuk sekolah.
Baca juga:
Minyak Esensial Solusi Stres Penduduk Kota, Tilik 4 Jenisnya
Heboh Syahrini Pakai Tas KW, Tilik 4 Trik Mengenali Produk Palsu
Orang tua juga mesti mengerti dan mewaspadai soal bullying terhadap anak di sekolah. Pemahaman akan lingkungan sekolah, komunikasi dengan guru, dan interaksi dengan anak perlu dilakukan secara intens di masa-masa awal masuk sekolah.
Penggunaan gawai juga bisa mempengaruhi semangat anak ke sekolah. Jika tidak dibatasi, anak-anak yang keranjingan main game bakal sulit berkonsentrasi di sekolah karena pikirannya ke mana-mana.
Feka Angge mengatakan bahwa pada anak-anak yang berusia early childhood memasuki childhood memiliki perkembangan otak bagian depan, yang berhubungan dengan problem solving, belum terbentuk dengan baik. Gawai bisa berdampak lebih buruk pada anak di usia ini.
“Jadi sebaiknya, sebaiknya memang tidak memberikan sama sekali gawai kepada anak-anak seusia sekolah itu. Kalaupun itu diberikan, harus dengan pembatasan yang ketat dan konsistensi yang tinggi,” ujarnya