TEMPO.CO, Jakarta - Dampak bencana alam gempa Palu dan Donggala masih menghiasi berbagai laman berita nasional dan internasional. Evakuasi jenazah yang sudah berjumlah 1,7 ribu lebih pun terus dilakukan.
Baca: Bekasi Clothing Expo Targetkan 5.000 Baju untuk Korban Gempa Palu
Delapan tahun lalu, 26 Oktober 2010, pukul 17.02, suasana duka seperti yang terjadi di Palu pun dirasakan masyarakat tanah Jawa. Tiga kali letusan diiringi awan panas yang meluncur deras dari mulut Gunung Merapi menandai erupsi telah terjadi. Selanjutnya adalah episode kiamat kecil bagi penduduk lereng Merapi. Awan panas menerjang tanpa ampun. Puncaknya, pada pukul 18.21, awan panas besar mengamuk selama 33 menit. Dua hari kemudian, 28 Oktober, Merapi memuntahkan lava pijar bersamaan dengan awan panas.
Peristiwa tersebut membawa petaka bagi ratusan warga lereng Merapi yang menolak pindah ke pengungsian. Rumah-rumah ambruk karena tak kuat menahan beratnya abu pasir yang diserak oleh awan panas itu, ternak-ternak mati, tanaman di sawah dan kebun tertimbun, serta untuk beberapa lama tanah jadi beracun. Kerugian demi kerugian berbaris di depan mata. Penduduk di lereng Merapi terpuruk.
Salah satu desa yang menjadi korban erupsi Merapi adalah Pulesari, yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Warga Pulesari, yang menggantungkan hidup pada kebun salak, mesti gigit jari."Saat itu seluruh penduduk Pulesari sama-sama berada di titik nol," kata Sardjana, 47 tahun, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulesari.
Tapi mereka sadar harus bangkit dan butuh waktu dua tahun bagi mereka untuk menyadari potensi alam yang mereka miliki. Semula, menurut Sardjana, mereka tak memahami apa potensi yang dimiliki Pulesari, selain tanah subur untuk menanam salak. Didampingi oleh sebuah lembaga nirlaba dari Solo, Jawa Tengah, mereka berupaya bangkit lewat konsep desa ekowisata.
Baca: Kiat Orang Tua Mengajarkan Anak soal Bencana Alam
Mereka memanfaatkan sungai selebar sekitar 3-5 meter yang membelah desa, yang semula hanya menjadi tempat bermain anak-anak. Di sungai itu, pelancong diajak menjadi Pocahontas dan Tarzan, yang melakukan petualangan berbasis alam. Uji ketangkasan yang biasa dilakukan di daratan dipindahkan ke sungai. Pelancong akan merasakan sensasi memanjat jaring laba-laba dengan bantalan batu sungai, memanjat titian di bawah derasnya air terjun buatan, dan segudang aktivitas lain yang melatih konsentrasi.
Menurut Sardjana, ekowisata ini berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru, yang beberapa di antaranya padat karya, seperti menjadi pemandu wisata. Konsep ini berhasil membangun kemandirian ekonomi penduduk Pulesari."Pendapatan kotor dari pariwisata pada 2017 sebesar Rp 3,4 miliar," katanya. Sardjana mengatakan kehidupan warga Pulesari bahkan jadi lebih sejahtera dibanding sebelum erupsi.
Tak cuma itu, menurut Sardjana, pola pikir warga Pulesari pun berubah. Mereka mengerti alam Pulesari perlu dijaga dan tidak dieksploitasi besar-besaran supaya manfaat yang diperoleh berkelanjutan. Ini pula yang menjadi titik pijak ekowisata. Berkat mengusung konsep pariwisata berkelanjutan pulalah nama Pulesari mendunia. Pada 2016, Desa Wisata Pulesari masuk Sustainable Tourism Observatories (STO) yang terdaftar di Badan Pariwisata Dunia (UNWTO).