TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Bintaro kembali dibicarakan hari ini. Ya, hari ini, 19 Oktober 2018, adalah tepat 31 tahun peristiwa tabrakan dua kereta api di kawasan Bintaro.
Baca juga: Kisah Mengalahkan Trauma Korban Gempa yang Pernah Terkubur 18 Jam
Senin pagi, 19 Oktober 1987, terjadi tabrakan antara kereta api ekonomi patas KA 220 jurusan Tanah Abang–Merak dan kereta api ekonomi cepat KA 225 jurusan Rangkasbitung–Tanah Abang.
Kecelakaan yang menewaskan 153 orang dan 300 lainnya luka-luka itu pasti menyisakan duka serta luka yang mendalam bagi korban dan keluarga korban. Tak heran bila hingga sekarang masih ada yang trauma mengingat tragedi Bintaro itu.
Trauma sendiri adalah sebuah respons emosional di otak terhadap kejadian buruk yang pernah terjadi pada masa lalu, termasuk terkait dengan kecelakaan, sakit, pemerkosaan, atau bencana alam.
Setelah peristiwa buruk terjadi, syok dan penyangkalan adalah hal yang umum terjadi pada seseorang, dan efeknya bisa berkelanjutan hingga jangka panjang, seperti emosi tidak terduga, kilas balik, bahkan gejala pada fisik, seperti sakit kepala dan mual.
Trauma sendiri sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan. Ini seperti disebutkan spesialis kedokteran jiwa dari Rumah Sakit Omni Internasional, Andri, dalam videonya bertajuk "Melupakan Trauma Masa Lalu".
Penjelasan Andri ini juga pernah dimuat Tempo.co pada Februari 2018. Pada waktu itu disebutkan bahwa saat gangguan kecemasan datang seseorang dapat mengingat kembali memori yang menyakitkan, meskipun ia sudah berusaha melewati masa tersebut.
Ilustrasi trauma healing (pixabay.com)
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ternyata di dalam otak ada sistem yang disebut amygdala. Sistem itu merupakan pusat memori dalam otak yang menyimpan ingatan tentang segala sesuatu yang pernah terjadi dalam kehidupan seseorang, terutama yang memiliki makna, baik memori buruk maupun baik.
Nah, gangguan kecemasan ini terjadi karena dipicu hiperaktivitas amygdala akibat proses menghadapi peristiwa tertentu yang mengingatkan pada kondisi traumatik.
Menurut Andri, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecemasan tersebut. Termasuk mengikhlaskan kejadian yang pernah dialami. Dengan begitu, seseorang bisa mengurangi persepsi negatif atau kurang baik dari peristiwa buruk itu.
Jika terus memasukkan pikiran positif ke otak, kita bisa memiliki kenangan yang lebih baik dan bermakna positif. Otomatis otak pun akan mampu mengimbangi sehingga nilai positif bisa muncul ke alam sadar.
“Memang tidak mudah melakukan itu. Makanya kita harus berupaya, memberi input positif pada pikiran kita agar lebih baik dalam berinteraksi atau berperilaku dengan orang lain. Baca buku positif, audio positif, dengar ceramah, dan bergaul dengan orang-orang positif agar bisa mendapat manfaat dari hal yang dilakukan,” kata Andri.
Andri juga menekankan bahwa kita adalah orang yang bertanggung jawab atas diri sendiri. Karena itu, penerimaan hal-hal yang pernah terjadi dalam hidup kita merupakan hal yang penting. “Terima saja dulu. Jangan disesali. Nyatakan kalau, ‘Saya bertanggung jawab pada diri sendiri dan saya ingin berubah menjadi orang lebih baik dan tidak mengingat trauma masa lalu',” katanya.
Baca juga: Mengenang Tragedi Bintaro, Ini Lirik Lagu 1910 Iwan Fals
AMERICAN PSYCHOLOGICAL ASSOCIATION | MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA