TEMPO.CO, Jakarta - Di antara beragam cara orang menangani kasus depresi, terapi aktivasi perilaku berbasis daring bisa menjadi salah satu pilihan. Hal itu diungkapkan sebuah studi yang diterbitkan jurnal Lancet Psychiatry tahun ini.
Baca: Gadget Picu Depresi pada Anak? Simak Penelitiannya
Hasil studi itu menemukan bahwa penderita depresi berat yang mendapatkan terapi aktivasi perilaku (kelompok intervensi) secara online, derajat depresinya turun setelah 10 minggu. Peluang mereka pulih bahkan lebih tinggi 50 persen ketimbang yang hanya menerima psikoedukasi online (kelompok kontrol).
Awalnya, seseorang sudah mulai depresi di angka 18 dengan kategori berat. Seiring berjalannya terapi selama 10 pekan, diukur lagi level depresinya. "Level depresi turun pada mereka yang masuk dalam kelompok aktivasi perilaku (turun 1,26 angka)," ujar salah satu peneliti dari Universitas Groningen di Belanda, Retha Arjadi di Jakarta, Kamis 1 November 2018.
Penurunan angka depresi juga sebenarnya terjadi pada kelompok penderita depresi yang mendapatkan terapi psikoedukasi, namun tak sebesar pada kelompok intervensi. Untuk sampai pada temuan ini, Retha dan dua koleganya dari Universitas Amsterdam melibatkan 313 orang partisipan (penderita depresi) di Indonesia. Dari jumlah ini, sebanyak 159 orang mendapatkan terapi aktivasi perilaku (GAF-ID) dan sisanya psikoedukasi online.
Pada terapi GAF-ID, partisipan yang terlibat mendapatkan panduan dari konselor awam terlatih untuk menjalankan protokol terapi aktivasi perilaku. Terapi ini sudah diadaptasi dalam konteks budaya Indonesia. "Ada delapan modul dengan tujuan berbeda, modul satu misalnya untuk menyadarkan aktivitas depresi dan mengevaluasinya. Masing-masing modul mempunyai lembar kerja sendiri yang harus partisipan isi secara online. Level depresi diukur dua minggu sekali," kata Retha.
"Aktivitas yang perlu dilakukan, adalah umum di Indonesia seperti jalan-jalan ke pasar, belanja di kaki lima," kata dia.
Retha yang berprofesi sebagai dosen psikologi klinis di Unika Atma Jaya, Jakarta itu mengatakan sebenarnya, penderita depresi bisa mendapatkan terapi semisal psikoedukasi ketika sudah muncul kesadaran pada dirinya. "Dia jadi merefleksi tentang kondisinya dan melakukan sesuatu yang terkait dengan depresinya, sehingga melakukan level depresinya turun," kata dia.
Baca: Awkarin Jalani Proses Time Out? Ini Penjelasan Psikiater
Kendati begitu, Retha dan tim memandang perlunya studi lanjutan mengenai terapi berbasis daring untuk menangani depresi yang lebih berat. "Orang depresi itu kehilangan minat, sehingga memperparah depresinya. Terapi ini dikembangkan untuk memutus itu. Seburuk apapun mood Anda kalau lagi depresi, do something, misalnya mandi, lalu evaluasi perasaan. Tidak melakukan apa-apa justru membuat depresi semakin buruk," kata dia.