TEMPO.CO, Jakarta - Hidup hanya dengan tiga pasang pakaian dan selembar matras untuk tidur mungkin terkesan menyulitkan. Tapi gaya hidup seperti itu tidak dirasakan oleh Fumio Sasaki, pria 35 tahun asal Jepang yang bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan di Tokyo. Fumio justru merasa sangat bahagia. Barang-barang lain yang ia miliki selain matras dan pakaian adalah tiga kemeja dan empat pasang kaus kaki yang disimpan di apartemen kecilnya yang tanpa perabotan apa-apa.
Baca: Gaya Hidup Tak Sehat Bikin Angka Penyakit Tak Menular Kian Tinggi
"Saya merasa bahagia dengan kondisi ini, justru setelah saya membuang hampir semua benda yang saya miliki sebelumnya," kata Fumio dalam kolomnya di The Guardian. Fumio adalah seorang minimalis. Ia menjalankan gaya hidup sangat sederhana. "Intinya, mengurangi kepemilikan barang sebanyak mungkin dan hanya memiliki benda yang memang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari."
Gaya hidup minimalis ini booming di Jepang sejak 2011. Waktu itu, seorang penulis asal Negeri Sakura, Marie Kondo, menerbitkan buku berjudul The Life-Changin Magic of Tidying Up (keajaiban beberes yang mengubah hidup). Dalam buku itu, Marie menganjurkan pembaca bukunya merapikan dan membuang barang-barang yang tak terlalu penting untuk kehidupan sehari-hari.
Apa yang ditulis Marie itu menjadi tren, bahkan nama Marie (Konmari) dijadikan nama bagi aktivitas membereskan dan membuang barang-barang tak perlu. Pada 2015, Fumio, yang menjalankan gaya hidup minimalis, menerbitkan buku senada, berjudul Goodbye, Things (selamat tinggal, barang-barang). Tidak hanya menganjurkan membuang barang tak penting, mereka sebetulnya juga mengajak pembaca mengurangi konsumerisme. Tulisan keduanya menginspirasi banyak orang di negara lain.
Di Indonesia, tren "Konmari" belum terlalu dikenal. Namun aktivitas "membuang" barang yang dianggap sudah tak terpakai di kalangan anak muda sudah mulai ngetren. "Di kalangan anak muda ada semacam gaya hidup one in, one out atau beli barang baru, barang lama harus dibuang atau dijual," kata Firdhaussi, product owner wahana donasi barang bekas bernama Sumbang.in.
Tren itulah, kata Firdhaussi, yang coba ditangkap oleh Sumbang.in sebagai fitur terbaru dari Kitabisa.com, situs Internet untuk penggalangan dana. Sementara di Kitabisa.com donatur hanya menyumbang dalam bentuk uang, Firdhaussi menambahkan, di situs Sumbang.in, donatur menyumbang dalam bentuk barang. "Banyak pengguna Kitabisa.com yang juga ingin mendonasikan barang ketimbang sekadar menyumbang uang."
Baca: Sperma Encer Bisa Diatasi dengan Gaya Hidup Sehat
Melalui Sumbang.in, Firdhaussi tak hanya mengajak masyarakat berdonasi. Lebih jauh dari itu, ujarnya, mereka mengkampanyekan hidup minimalis ala masyarakat Jepang, mengurangi kebiasaan konsumtif. "Sehingga kita bisa berfokus pada hal-hal esensial, seperti pengembangan diri, ketimbang membahagiakan diri dengan belanja barang yang sebetulnya tak dibutuhkan."
Selain tren "Konmari"di Jepang, Firdhaussi mengaku terinspirasi oleh beberapa lembaga donor dan kemanusiaan di luar negeri, seperti Salvation Army dan Goodwill, yang sistem kerjanya mirip. "Mereka menerima donasi barang bekas dari masyarakat untuk kemudian dijual lagi. Dana yang diperoleh dari penjualan barang bekas itu lalu disalurkan ke lembaga-lembaga lain."
Hal inilah yang dilakukan Sumbang.in, yang beroperasi sejak lima bulan lalu. Saat ini, Sumbang.in menerima donasi barang bekas dalam bentuk perabot rumah tangga, pakaian, tas, sepatu, alat elektronik, buku, dan mainan anak dari donatur. "Asalkan masih layak pakai," kata Firdhaussi. Setiap barang yang mereka terima akan diseleksi sebelum dijual kembali.
Sumbang.in menjual barang-barang itu di situs Bukalapak lewat akun sumbang.in. Harga jualnya lebih rendah ketimbang harga barang bekas serupa yang dijual perorangan. Mereka juga menyertakan deskripsi detail mengenai cacat atau kekurangan pada barang. "Nanti seratus persen hasil penjualan kami salurkan ke lembaga yang membutuhkan."
Baca: 5 Gaya Hidup agar Lebih Bahagia, Yuk Coba
Menurut Firdhaussi, sejak lima bulan berjalan, Sumbang.in telah menggaet 657 donatur. "Kebanyakan menyumbangkan pakaian bekas. Ada juga yang menyumbangkan kamera digital." Selama itu mereka berhasil mengumpulkan dana hingga Rp 30 juta. "Uangnya kami sumbangkan ke lembaga pendidikan untuk anak-anak kurang mampu."
Penggalangan dana lewat penjualan barang bekas ini dipilih untuk mengantisipasi masuknya barang-barang tak layak pakai. "Sering terjadi kasus donasi pakaian bekas menumpuk di lokasi bencana karena kondisinya sudah tak layak pakai." Dengan mengkurasi barang bekas dan menjualnya, kata Firdhaussi, penyaluran sumbangan bisa menjadi lebih mudah.
PRAGA UTAMA | THE GUARDIAN | JAPAN TIMES | KORAN TEMPO