TEMPO.CO, Jakarta - Kemampuan siswa memecahkan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk sekolah dasar dan yang sudah tamat SMU. Hasil penelitian terbaru dari RISE atau Research on Improvement of System Education tahun 2018, ini dirilis para peneliti dalam Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika di Universitas Indonesia (UI) Depok, Sabtu, 10 November 2018.
Baca juga: Tak Bisa Jawab Soal Matematika, Anak Ini Telepon Polisi
Para aktivis seperti yang disiarkan melalui siaran pers yang dikirim pada TEMPO.CO Sabtu 10 November 2018, menyatakan terjadi kondisi gawat darurat bermatematika pada siswa SD hingga SMU. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada kemampuan anak-anak dalam berpikir dan bernalar, serta menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Jika ini dibiarkan, generasi emas Indonesia terancam gagal membangun peradaban Indonesia di masa yang akan datang.
“Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati dalam kesempatan yang sama.
Rendahnya kemampuan numerasi siswa di Indonesia bukan lagi berita baru. Hasil PISA tahun 2000 hingga 2015, secara konsisten menempatkan siswa-siswa kita yang berusia 15 tahun pada peringkat bawah dibandingkan negara-negara anggota OECD lainnya.
ilustrasi matematika (pixabay.com)
Disebutkan juga bahwa ditemukan bahwa anak-anak Indonesia ternyata belum mampu menerapkan pengetahuan prosedural matematika ke dalam permasalahan yang dihadapinya sehari-hari. Hasil ini juga dikonfirmasi oleh hasil-hasil tes internasional lain seperti TIMSS .
Baca Juga:
Gawat darurat bermatematika (literasi matematika) juga ditunjukkan dalam studi pemerintah yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program INAP (Indonesia National Assesment Program) yang kemudian berubah namanya menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia).
Studi INAP (Indonesian National Assessment Program) yang dilakukan Kemdikbud juga menjelaskan hal yang tak jauh berbeda. Pada 2016, kompetensi matematika siswa SD merah total. Sekitar 77,13 persen siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah (kurang), 20,58 persen cukup dan hanya 2,29 persen yang kategori baik.
Setelah berubah nama menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), pemerintah kembali melakukan studinya. Hasilnya tidak bergerak signifikan. Kali ini asesmen dilakukan untuk siswa SMP kelas VIII pada 2017 di dua provinsi. Hasil kompetensi literasi matematika rerata hanya 27,51. Dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.
Kondisi kegawatdaruratan ini belum juga beranjak sejak tahun 2000 silam. Data IFLS (Indonesia Family Life Survey) pada 2000, 2007 dan 2014 yang mewakili 83 persen populasi Indonesia juga menunjukkan kedaruratan bermatematika. Kedaruratan terjadi karena jumlah responden yang memiliki kompetensi kurang sangat tinggi. Lebih dari 85 persen lulusan SD, 75 persen lulusan SMP dan 55 persen lulusan SMU hanya mencapai tingkat kompetensi siswa kelas 2 ke bawah. Hanya sedikit saja yang memiliki tingkat kompetensi kelas 4 dan 5.
“Survey IFLS ini menunjukkan kemunduran kompetensi siswa secara akut. Kita tidak boleh mengabaikan temuan-temuan ini jika bangsa Indonesia ingin lebih baik, tidak bangkrut atau bubar karena kualitas SDM bangsa ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan,” kata Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali.
Baca: Cara Sederhana Mengenalkan Konsep Matematika pada Anak