TEMPO.CO, Jakarta - Bencana bisa datang kapan saja. Juli lalu, Lombok sempat mendapat bencana gempa bumi yang memakan hingga 250 orang. Hanya berselang dua bulan, ada pula gempa dan tsunami serta likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah yang juga memakan banyak korban. Lalu Indonesia pun kembali berduka atas jatuhnya Pesawat Lion Air JT-610 di utara Pulau Jawa pada akhir Oktober. Salah satu tim yang terus bekerja tanpa lelah adalah kelompok dokter yang mengidentifikasi jenazah para korban semua bencana itu.
Baca: Terlalu Cinta, Pria India Simpan Jenazah Ayahnya Selama 6 Bulan
Proses identifikasi jenazah ketiga bencana itu tentulah berbeda-beda tantangannya. Salah satu yang bisa menjadi acuan untuk mengenal identitas jenazah korban bencana itu adalah dengan data antemortem atau data perbandingan dari keluarga. "Data antemortem sangat penting untuk membantu dalam proses identifikasi jenazah pada bencana massal," kata Mohammad Ardhian Syaifuddin, pada acara Seminar Awam dan Media "Info Sehat FKUI untuk Anda" di Ruang Senat Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Kamis 29 November 2018.
"(Data antemortem) Penting karena kita kan pakai data perbandingan. Misalnya, data postmortemnya lengkap, dari sidik jari, DNA, dan gigi, kita bisa dapat semua datanya. Tapi, kalau kita tidak bisa mendapatkan perbandingannya, data ya tinggal data," tuturnya.
Data postmortem adalah data-data fisik korban atau jenazah yang didapatkan melalui identifikasi personal setelah korban meninggal. Data ini terdiri atas sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi, dan foto diri atau bagian tubuh korban pada saat ditemukan.
Sementara itu, data antemortem adalah data-data fisik khusus yang dimiliki korban semasa hidup. Data ini bisa berupa pakaian, aksesoris atau barang-barang yang melekat di tubuh korban untuk terakhir kalinya, barang bawaan, tanda lahir, tato, bekas luka atau operasi, cacat tubuh, foto diri berat dan tinggi badan serta sampel DNA.
Data antemortem biasanya didapatkan dari pihak keluarga korban ataupun instansi tempat korban bekerja. Ardhian melanjutkan pendataan untuk data postmortem korban bencana massal biasanya lebih mudah untuk dilakukan. "Karena ketika dapat jenazah, misalnya dari Basarnas, biasanya langsung kami periksa, kami ambil data sebanyak-banyaknya. Nanti jenazahnya kami simpan di freezer khusus," terangnya.
Baca: Mayat Dalam Lemari, Polisi Cari Saksi Kunci Pembunuhan Ciktuti
Namun, pengumpulan data antemortem juga bisa menemui kesulitan. Menurut Ardhian, kondisi psikis keluarga yang belum sepenuhnya bisa menerima kondisi yang terjadi dapat menjadi tantangan. "(Untuk mengumpulkan data antemortem) Kami harus menghadapi emosi dari pihak keluarga, sehingga proses untuk wawancaranya juga harus pelan, harus memperhatikan perasaan dari keluarga," katanya.