TEMPO.CO, Yogyakarta - Provinsi Yogyakarta menduduki peringkat teratas nasional untuk prevalensi kanker yakni 4,1 dari 1000 penduduk. Hal itu sesuai dengan hasil yang dikeluarkan Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2013. “Dengan kondisi tingginya prevalensi kanker itu, Yogya seharusnya sudah diarahkan menuju kota paliatif,” ujar peneliti senior yang juga Kepala Departemen Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Christantie Effendy Kamis 13 Desember 2018.
Baca: Terapi untuk Penderita Kanker Jika Perawatan Kuratif Tak Mempan
Paliatif merupakan salah satu dari lima tahapan medis yang selama ini kurang populer. Dalam dunia medis umumnya masyarakat hanya mengenal empat tahapan yakni promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Perawatan paliatif sendiri merupakan pelayanan medis tahap akhir yang dilakukan kepada pasien yang penyakitnya sudah dianggap tak bereaksi lagi dengan langkah pengobatan.
Artinya, penyakit pasien sudah tak bisa disembuhkan lagi atau angka harapan hidupnya sudah sangat kecil. Seperti pasien penderita kanker yang terlambat mendapatkan perawatan sehingga kemungkinan sembuh sudah tidak ada lagi.
Namun, perawatan paliatif di Indonesia tak populer karena sistem pengobatan yang berlaku memungkinkan pasien berobat habis-habisan hingga seluruh harta benda terkuras meski secara medis sebenarnya hasilnya sama saja, alias tak bisa disembuhkan.
Beda dengan sistem pengobatan di negara maju, yang memberlakukan sistem dokter keluarga. Dokter keluarga ini akan merekomendasikan pasien dengan penyakit stadium akhir dan tak bisa disembuhkan masuk tahap perawatan paliatif. “Beda dengan kondisi masyarakat kita, ketika ada pasien yang divonis secara medis umurnya tinggal menghitung hari, keluarganya terus mencari jalan bagaimana membuat pasien itu sembuh. Efeknya harga terkuras dan keluarganya tak terurus,” ujar Christantie yang juga Ketua Himpunan Perawat Onkologi Indonesia (Himponi) Wilayah DI Yogyakarta itu.
Ilustrasi sel kanker. shutterstock.com
Padahal, tahap kuratif atau pengobatan yang sampai mengorbankan kondisi keluarga pasien itu sangat tak sesuai dengan standar yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Misalnya banyak kasus, seorang kepala keluarga yang sudah tak bisa disembuhkan, istrinya akan keluar dari pekerjaan demi mengurusnya serta menjual harta benda mereka padahal mereka masih memiliki tanggungan anak.
Christantie menambahkan, tahap perawatan paliatif bukan lantas dipersepsikan membiarkan sang pasien terpuruk menunggu sisa hidupnya tanpa usaha penyembuhan. Tahap paliatif berfokus bagaimana membuat sisa hidup pasien lebih berkualitas sehingga saat meninggal lebih bermartabat dan kondisi keluarganya tetap stabil baik mental dan ekonomi. “WHO menyatakan seorang pasien paliatif berhak mendapatkan perawatan selayak-layaknya di masa akhir hidupya, serta diberi kebebasan apa yang diinginkannya, asalkan semua tetap dalam pengawasan keluarga,” ujarnya.
Lantas bagaimana jika si pasien mengalami rasa sakit di sisa hidupnya itu? Christantie menuturkan belanja atau tindakan dokter masih tetap berlaku saat tahap paliatif. Namun statusnya dokter hanya akan mengeluarkan obat untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri yang dirasa pasien. Bukan pengobatan dalam upaya menyembuhkan penyakit utamanya karena hal itu sia-sia. “Biaya besar yang dikeluarkan keluarga untuk pengobatan pasien itu bisa untuk hal lain yang bermanfaat, bukan untuk sesuatu yang sia-sia,” ujarnya. Sekalipun ada biaya yang sudah ditanggung melalui BPJS Kesehatan, namun seringkali menghadapi situasi ini keluarga tetap habis-habisan demi menyembuhkan pasien.
Perawatan paliatif menjadi langkah yang sudah sangat familiar di manca negara. Di Indonesia, daerah yang sudah memulai menggencarkan kampanye perawatan paliatif ini secara santer baru Kota Surabaya. Di kota tersebut, pemerintah kota-nya membuat lokasi atau kawasan yang dikhususnya untuk pasien-pasien paliatif.
Di tempat khusus yang berupa taman terbuka hijau itu, setiap pasien paliatif diberi kebebasan melakukan apa saja termasuk kegiatan sehari-hari semampu yang dikerjakan pasien tersebut.
Bahkan, ujar Christantie, di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya sudah ada unit khusus untuk perawatan paliatif dan pusat pengurangan nyeri. “Yogya memiliki sarana dan infrastruktur menjadi kota paliatif, misalnya di RSUP dr Sardjito, ” ujarnya.
Baca: Perawatan Paliatif Kanker: Bukan Menyembuhkan tapi Meringankan
Tak hanya kanker, pasien paliatif juga berlaku untuk penyakit seperti stroke, gagal ginjal, pasien dengan HIV/AIDS, jantung kronis dan pasien jantung. Christantie menyadari tak mudah mengkampanyenya perawatan paliatif ini. Seperti harus ada dukungan pemerintah setempat dalam membuat regulasi tentang layanan itu. Juga harus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang perawatan paliatif itu sendiri.