TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Riri Riza mengatakan ada perubahan besar jika ingin menjadi sutradara saat ini dengan menjadi sutradara sebelum reformasi. "Tidak seperti sekarang, ada banyak tahapan yang harus dilalui bila ingin menjadi sutradara saat itu," kata Riri dalam peringatan 20 tahun Film Kuldesak Rabu 19 Desember 2018.
Baca: Riri Riza: Indonesia Ladang Subur untuk Produksi Road Movie
Riri mengatakan, untuk menjadi sutradara sebelum reformasi, seseorang harus menjadi penulis naskah, lalu asisten sutradara 3 kali lalu baru menjadi sutradara. "Dulu saya pikir, saya tidak akan bisa menjadi sutradara muda kalau tahapannya banyak sekali," kata Riri.
Peluncuran Buku 20Kuldesak : 20Kuldesak : Berjejaring, Bergerak, Bersiasat, Berontak.Tempo/Mitra Tarigan
Saat mengetahui untuk menjadi sutradara harus melalui banyak sekali tahap, Riri pun merasa marah 20 tahun lalu itu. "Sebagai anak muda, saya tidak mau tahu. Saya dulu akhirnya cuma bisa marah," kata Riri. Menurut Riri, kondisi itu tentunya sangat berbeda dengan sutradara zaman sekarang yang bisa langsung menjadi sutradara.
Bersama tiga temannya, Rizal Mantovani, Mira Lesmana, dan Nan Achnas akhirnya mereka membuat film tanpa restu organisasi perfilman yang dipimpin Slamet Rahardjo saat itu. Keempatnya membuat film berjudul Kuldesak. Maklum bila diketahui organisasi, mereka pun harus mengikuti berbagai tahap yang sangat rumit itu untuk menjadi sutradara. "Kami dulu benar-benar harus membuat film secara ilegal. Kalau kata media saat itu, kami bergerilya," kata Mira.
Sutradara Kuldesak/Kuldesak
Kuldesak diluncurkan 20 tahun lalu tepatnya pada 27 November 1998. Film itu pertama kali diluncurkan di 3 layar bioskop di Jakarta, kemudian bertambah masing-masing 1 layar di kota Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Hanya di 6 layar bioskop Kuldesak disambut meriah dan menghasilkan lebih dari 100.000 penonton, angka yang fenomenal untuk jumlah layar yang begitu minim. Dibuat hampir 3 tahun lamanya secara bergerilya dari 1995 hingga 1998, Kuldesak disebut sebagai penanda era baru perfilman Indonesia oleh para pengamat film, baik di dalam maupun di luar negeri.
Baca: Riri Riza: Tino Saroengallo Lebih dari Sekadar Aktor
Untuk mengenang perjuangan keempat sutradara dalam bergerilya dalam membuat film itu, mereka pun merilis buku berjudul 20Kuldesak : Berjejaring, Bergerak, Bersiasat, Berontak. Selain untuk menampung arsip-arsip serta dokumen-dokumen Kuldesak yang selama ini tersebar dan tercecer di berbagai tempat, buku ini juga bertujuan untuk menceritakan kembali bagaimana sebuah karya film dikerjakan di tengah kemelut ekonomi, sosial dan politik, dari 1995 sampai 1998. "Dan tentunya juga buku ini adalah album kenangan bagi semua yang terlibat dalam proses film Kuldesak," kata Riri.