TEMPO.CO, Jakarta - Kebahagiaan ketika berpacaran dengan ketika menikah ternyata ditentukan hal yang berbeda. Di masa pacaran, Anda jatuh cinta dan bahagia karena ketertarikan fisik, minat yang sama, dan nilai-nilai yang serupa. Tapi dalam pernikahan, hal-hal tidak terlalu lagi menentukan.
Baca: Intip Masa Sulit Pernikahan Awal Justin Bieber dan Hailey Baldwin
Sebuah penelitian yang dilakukan Yale School of Public Health menyebutkan bahwa jika pasangan menikah, kebahagiaan jangka panjang akan ditentukan oleh faktor genetika. Sebab, gen dapat mempengaruhi oksitosin atau ormon cinta. Hormon inilah yang berperan dalam ikatan sosial.
Joan Monin, Associate Professor di Yale School of Public Health, mengatakan bahwa studi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dalam hubungan jangka panjang tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman. "Dalam pernikahan, kebahagiaan orang juga dipengaruhi oleh kecenderungan genetik mereka sendiri dan pasangan mereka," kata Monin seperti dikutip di Times of India, 4 Maret 2019.
Studi ini dilakukan terhadap 178 pasangan menikah berusia 37-90 tahun. Mereka tidak hanya diberikan pertanyaan tentang kepuasan pernikahan, tapi juga dimintai sampel air liur untuk pemeriksaan genetika.
Temuan yang diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE, mengungkapkan bahwa pasangan dengan variasi genetika yang dikenal sebagai genotipe GG dalam reseptor gen oksitosin, mengalami kepuasan pernikahan yang lebih besar dan perasaan aman dalam pernikahan mereka. Selain itu, orang dengan tipe gen ini tidak memiliki keterikatan kecemasan besar dalam pernikahan.
Menurut Monin, keterikatan cemas adalah jenis ketidakamanan hubungan yang berkembang dari pengalaman masa lalu dengan anggota keluarga dekat dan mitra selama masa hidup, dan dikaitkan dengan harga diri yang berkurang, sensitivitas penolakan yang tinggi, dan perilaku mencari persetujuan.
Baca: Haruskah Mengundang Mantan Kekasih ke Pernikahan?
TIMES OF INDIA | SCIENCE DAILY