TEMPO.CO, Jakarta - Awal tahun ini muncul wacana obat kanker usus besar atau kolorektal dihapus dari daftar obat yang ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Setidaknya ada dua jenis obat kanker yang rencananya dihilangkan per 1 Maret, yaitu obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker dan cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal.
Baca: Pencabutan Obat Kanker Usus dari Jaminan BPJS Kesehatan Ditunda
Tapi belakangan, dikabarkan penghapusan obat yang disebut berharga mahal ini ditunda. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, tidak menutup kemungkinan untuk meninjau kembali kebijakan pencabutan apabila obat ini terbukti memang efektif.
Nila mengatakan, saat ini pemerintah tengah menunggu kajian Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) sebelum menentukan keputusan akhir nasib kedua obat ini.
Tahun lalu hal serupa terjadi pada obat kanker payudara. Trastuzumab, obat yang disebut disebut efektif untuk pengobatan kanker payudara HER2+, dikeluarkan dari tanggungan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Tapi akhirnya obat itu kembali dijamin setelah melalui proses panjang.
Pakar farmakoekonomi Ahmad Fuad Afdhal mengatakan, keluar masuknya obat di formula Jaminan Kesehatan Nasional itu hal yang biasa. “Tapi landasan ilmiahnya harus jelas. Penelitian untuk itu tidak bisa satu atau dua bulan, minimal satu tahun. Apalagi kalau obat kanker,” kata dia dalam Workshop Health Technology Assessment di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2019.
Ia mengatakan, itu sebabnya diperlukan health technology assessment atau HTA dalam setiap pengambilan keputusan. HTA adalah penilaian yang terstruktur terhadap teknologi kesehatan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan untuk system jaminan seperti JKN. Di dalamnya termasuk safety, efficacy (benefit), costs dan cost-effectiveness, implikasi terhadap organisasi, sosial, dan isu etika.
Persoalannya, kata Fuad, Indonesia belum memiliki panduan HTA yang baku seperti di negara-negara maju. “Kita tidak memiliki HTA, hanya ada farmakoekonomi guideline. Saya curiga (keluar-masuknya obat dalam daftar JKN) hasil dari mengutip jurnal,” kata Fuad yang kini menjabat sebagai President International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) Indonesia Chapter .
HTA sebenarnya tidak berlaku hanya untuk obat, tapi untuk seluruh teknologi kesehatan. Tujuannya adalah melindungi pasien agar mendapatkan pengobatan yang efektif.
Fuad mencontohkan sebuah alat yang fungsinya merekam denyut jantung janin. Perusahaan berhasil membuat alat itu laku keras di Cina, sementara banyak negara lain menolaknya. Setelah dilakukan penelitian di beberapa negara, terbukti alat tersebut tidak terlalu berguna, apalagi jika dipakai awam. “Tapi industrinya sudah kaya dari penjualan alat itu. Dan itu hanya menjadi beban masyarakat,” ujar Fuad.
Baca: Dibanding Obat Biasa, Cokelat Lebih Ampuh Sembuhkan Batuk?
Tapi, Fuad yakin, JKN yang diberlakukan di Indonesia akan membuat HTA berkembang dalam 5-10 tahun ke depan.