TEMPO.CO, Jakarta - Lari memang salah satu olahraga yang sudah sangat populer saat ini. Namun olahraga lari lebih banyak dilakukan oleh masyarakat yang sudah bekerja. "Anak remaja di Sekolah Menengah Atas lebih suka olahraga basket atau olahraga yang lain," kata Division Head of Corporate Communications & Community Development Combiphar B. Dewinta Hutagaol dalam acara Combi Run Academy 2019 di Ciawi, Bogor 23 Maret 2019.
Baca: Ajak Remaja Hidup Lebih Sehat, Biasakan dengan Olahraga Berlari
Dewinta mengatakan ada baiknya para remaja ini diperkenalkan teknik berlari dengan benar. "Lari itu dasar semua olahraga," katanya.
Untuk itu, Combiphar membuat Program Intensif Bootcamp Combi Run Academy 2019. “Krusialnya usia remaja dalam membentuk generasi Indonesia yang lebih sehat, Combi Run Academy menjadi salah satu upaya nyata Combiphar dalam merangkul anak-anak muda Indonesia untuk semakin peduli pada kesehatan diri melalui olahraga lari," kata Dewinta.
Kegiatan yang sudah memasuki tahun kedua ini fokus dalam pelatihan intensif seputar teori dan praktik lari agar siswa-siswi SMA peserta mendapatkan manfaat optimal dari olahraga ini. "Salah satunya untuk menghindari ancaman sindrom metabolik,” kata Dewinta.
Indonesia memiliki prevalensi cukup tinggi terhadap sindrom metabolik, yaitu kumpulan faktor risiko kesehatan yang bila tidak segera ditangani bisa berakibat fatal. Beberapa masalah sindrom metabolik itu adalah peningkatan tekanan darah, kadar gula darah tinggi, lemak berlebih di sekitar pinggang, serta rendahnya HDL atau kolesterol “baik”.
Combi Run Academy (CRA) 2019 yang diadakan di Bogor, Jawa Barat/Combiphar
Pubertas menjadi periode rawan munculnya sindrom ini. Dengan mempelajari informasi tentang lari secara benar dan rutin, didukung pola asupan yang sehat dalam program Combi Run Academy 2019 ini, efektif mengantisipasi timbulnya sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 23 persen . Riset Kesehatan Dasar 2018 menggambarkan beberapa kondisi kesehatan yang terkait sindrom ini; antara lain jumlah obesitas usia dewasa yang meningkat dari 14,8 persen pada Riskesdas 2013 menjadi 21,8 persen lima tahun kemudian. Prevalensi hipertensi dari 25,8 persen naik ke 34,1 persen dalam waktu lima tahun sejak 2013. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga meningkat dari 6,9 persen pada 2013 menjadi menjadi 8,5 persen pada 2018.
Gaya hidup malas bergerak dan konsumsi asupan tak sehat pun memiliki dampak besar dalam peningkatan masalah sindrom metabolik ini. Terbukti, data Riskesdas 2018 menyebutkan 33,5 persen penduduk Indonesia ternyata belum cukup beraktivitas fisik, sementara 95 persen masing kurang mengonsumsi sayur dan buah. Temuan lain bahkan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara di Asia Pasifik yang paling menggemari camilan. Mayoritas masyarakat Indonesia pun lebih memilih keripik, biskuit, roti atau kue, ketimbang kudapan sehat .
Dengan beragam keadaan tersebut, sindrom metabolik bisa semakin berpotensi mengancam masyarakat Indonesia - tak terkecuali kalangan remaja. Medical Expert Combiphar Sandi Perutama Gani mengatakan pada masa pubertas, tubuh mengalami perubahan hormon secara pesat yang dapat mempengaruhi kemunculan sindrom metabolik. Bila tak segera disadari, dampaknya bisa membawa perubahan besar dalam tubuh.
Tranformasi gaya hidup yang signifikan, yaitu cukup beraktivitas fisik dan mengonsumsi makanan sehat secara teratur, perlu segera diaplikasikan guna menghindari sindrom metabolik pada remaja. "Lari menjadi salah satu kegiatan fisik yang direkomendasikan bagi kalangan usia muda untuk menjaga keseimbangan metabolisme tubuh,” kata Sandi.
Perubahan besar yang bisa terjadi dalam tubuh remaja bila penanda sindrom metabolik tidak segera ditangani antara lain pengerasan pembuluh arteri (Arteriosclerosis), penurunan fungsi ginjal, bahkan resistensi inslusin – yaitu ketika sel tubuh tidak dapat mengolah gula darah dengan sempurna .
Pelatihan Combi Run Academy 2019 ini, berlangsung dua hari satu malam di Bogor, enam puluh siswa-siswi dan 15 guru dari 15 sekolah setingkat SMA di Jakarta berkumpul untuk mendapatkan pembelajaran langsung dari IndoRunners, komunitas penggemar olahraga lari independen terbesar Indonesia.
Dalam pelatihan ini, peserta tidak hanya mendapat penajaman ilmu praktik berlari, tapi juga pengayaan materi pendukung. Salah satunya adalah informasi tambahan tentang pola asupan yang tepat dan perilaku sehat lain dalam keseharian. Di samping itu, siswa-siswi peserta juga akan mendapatkan pembekalan social media training agar para peserta terlibat aktif meneruskan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan melalui berbagai platform media sosial yang mereka miliki. "Kami berharap akan semakin banyak remaja yang bersemangat menjalankan pola hidup sehat,” kata Dewinta.
Pelatihan intensif juga melibatkan guru-guru yang nantinya akan berperan sebagai trainer bagi siswa perwakilan sekolah. Program Train for Trainer ini juga bisa para guru manfaatkan untuk memaksimalkan materi olahraga di kurikulum sekolah mereka.
Baca: Ingin Biasakan Berolahraga, Mulailah dengan 4 Tip Sederhana Ini
Program Director Combi Run Academy dan pendiri komunitas lari IndoRunners, Yasha Chatab menambahkan timnya sangat antusias berkolaborasi dengan Combiphar dalam menjalankan pelatihan intensif ini. Sesi bootcamp menghadirkan suasana yang berbeda dan memungkinkan para peserta untuk lebih fokus meningkatkan kemampuan berlarinya. "Lebih dari itu, para peserta juga berkesempatan berkumpul dengan sesama peminat olahraga lari sehingga bisa lebih termotivasi untuk berprestasi, terutama menghadapi fase kompetisi nanti,” kata Yasha Chatab.