TEMPO.CO, Jakarta - Cardiac Resynchronization Therapy atau CRT menjadi harapan para penderita gagal jantung agar jantung bekerja lebih baik. Tapi bukan berarti penggunaan alat pacu jantung ini membuat pasien bebas melakukan apa saja. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan terkait dengan kabel yang menempel pada jantung.
Baca: Sebelum Divonis Gagal Jantung, Kondisi Ini Sering Dialami Pasien
Dokter ahli jantung dan pembuluh darah, Yoga Yuniadi, mengatakan, salah satu hal yang harus dihindari setelah pemasangan alat pacu jantung ini adalah tidak menggerakkan tangan dengan berlebihan. “Tangan berhubungan langsung dengan dada. Sehingga, kalau terlalu banyak gerak, dapat membuat kabel berpindah posisi dan lebih memungkinkan untuk luka,” katanya di Jakarta, Selasa, 2 April 2019.
Selain itu, melakukan MRA atau Magnetic Resonance Angiography untuk memberikan gambaran struktur pembuluh darah arteri dan vena pada otak juga tidak diperbolehkan. Yudi mengatakan bahwa pemeriksaan MRA dapat merusak sistem kerja CRT. “MRA sangat bertolak belakang dengan CRT. Jadi kalau sudah pasang CRT, tidak boleh MRA. Nanti bisa rusak,” katanya.
Selain itu, pasien tidak boleh melakukan aktivitas fisik yang terlalu berlebihan. Pengecekan berkala juga harus dilakukan. Karena, tanpa merasakan tanda apa pun pada tubuh, kabel dapat lepas atau tidak berfungsi. “Jangan melakukan olahraga berat seperti tenis. Tapi jalan atau lari santai saja. Pengecekan juga harus dilakukan setiap 3 hingga 6 bulan sekali untuk memastikan jika alat berfungsi dengan baik,” katanya.
Hal-hal tersebut harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan CRT sendiri tidaklah murah. Yuda mengatakan kepada Tempo bahwa pemasangan CRT setara dengan mobil SUV atau sekitar Rp 500 juta. “Harganya memang mahal. Tapi setara dengan tujuan untuk memperpanjang usia hidup dan biaya bolak balik rumah sakit dan obat lah,” katanya.
Baca: Tak Semua Pasien Gagal Jantung Bisa Gunakan CRT, Ini Kriterianya
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA