TEMPO.CO, Jakarta - Bicara politik dan pemilu dengan generasi milenial bukan urusan mudah. Anak muda memiliki dunianya sendiri dan tak jarang ada yang memilih menjauh dari urusan politik. Pada hari pencoblosan, Rabu 17 April 2019 mendatang, tercatat ada 14 juta pemilih pemula -yang notabene adalah generasi milenial, yang baru pertama menggunakan hak pilihnya.
Baca: Pemilih Pemula Bingung di Pemilu 2019, Ada Tips dari Najwa Shihab
Lantas bagaimana supaya anak muda tergerak menggunakan hak suara mereka dalam berpolitik dan memilih sesuai dengan kehendak sadarnya? Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini mengatakan hingga kini anak muda masih memandang politik sebagai sesuatu yang sulit, tidak asyik, dan penuh dengan pertengkaran.
Sebab itu, jika ingin membicarakan tentang politik dengan anak muda, perlu bicara dalam bahasa, perspektif, dan konteks di alam pikiran mereka. "Jangan sampai cara kita dalam mendekati dan membumikan politik pemilu dan demokrasi seolah-olah menjadi sesuatu yang eksklusif,” kata Titi Anggraini kepada Tempo pada Senin, 8 April 2019.
Supaya mudah mengkomunikasikan perihal politik kepada generasi milenial, Titi Anggraini mengatakan, Perludem membuat program pintarmemilih.id. Program mendorong pemilih mengenal peserta pemilu, calon legislatif, dan tata cara pemilu. Ada pula roadshow ke sekolah dan kampus untuk menyasar para pemilih muda.
Titi Anggraini melanjutkan, sejatinya anak muda memiliki minat dan ketertarikan pada urusan politik. Namun terkadang keinginan itu terkubur atau tidak terlalu mengemuka karena diskusi dengan politikus, calon legislatif, dan orang tua, membuat mereka justru tersubordinasi. "Seolah-olah suara mereka tidak penting dan pemahaman mereka tidak perlu didengar," ucapnya.
Baca juga:
Pemilih Pemula Tanpa KTP Bisa Ikut Pemilu dengan Surat Keterangan
Padahal anak muda, menurut Titi Anggraini, harus diajak bicara dengan pemikiran yang setara. “Mereka harus didengar. Kita tidak boleh mengesampingkan dan membuat mereka seolah-olah tidak lebih penting dan tidak lebih paham dari kita,” katanya.
Anak muda yang kritis terhadap politik, Titi Anggraini menambahkan, mampu mengevaluasi pemerintahan dan sikap politikus dengan luar biasa. Semua itu didasarkan pada standar yang baik tentang politikus dan wakil rakyat. "Mungkin karena standar yang baik itu kemudian dibenturkan dengan realitas yang jauh dari bayangan mereka, itu yang membuat anak muda tidak tertarik membicarakan politik, pemilu, dan demokrasi,” tutur Titi Anggraini.
HALIDA BUNGA FISANDRA