TEMPO.CO, Jakarta - Label sepatu Pijakbumi baru muncul pertama kali pada 2015. Tapi keunikan material dan modelnya yang klasik membuat merek sepatu asal Bandung ini cepat diterima pasar. Pelanggan pertamanya bahkan datang dari luar negeri.
Baca: 4 Jenis Sepatu Wajib buat Wanita, Cocok di Segala Suasana
"Selama 6 bulan pertama, sepatu kami sudah terjual di lima benua," kata Rowland Asfales, 27, salah seorang pendiri Pijakbumi.
Pijakbumi merupakan hasil kolaborasi Rowland dengan dua temannya, Ignatius Yosafat (39), dan Vania Audrey (25). Hal yang unik dari sepatu ini adalah material yang ramah lingkungan dan unik, seperti serat kenaf dan kulit kelapa.
Bahan baku ini dipilih setelah melihat proses produksi sepatu yang menghasilkan limbah, Rowland menggagas ide memproduksi sepatu ramah lingkungan. Bersama Ignatius dan Vania, ia mendirikan Pijakbumi. Nama unik ini merupakan terjemahan dari kata earthing.
Menurut Rowland, earthing ini merupakan salah satu metode penyembuhan dengan menginjak tanah tanpa alas kaki. Manfaatnya bisa membuat ion-ion dalam tubuh agar kembali netral.
"Filosofinya, kami berharap dengan memakai produk kami, orang bisa seimbang dalam menjalani kehidupan termasuk dengan lingkungan (seimbang). Sekalian, kami juga berharap Pijakbumi bisa menginjak seluruh tempat di bumi ini," beri tahu pria yang akrab disapa Fales ini.
Seperti namanya yang sangat natural, material sepatu ini pun alami. Mereka memilih material dari kulit nabati yaitu kulit sapi berbahan natural dengan proses pewarnaan tanpa bahan kimia. “Ada juga serat tumbuhan kenaf yang banyak dihasilkan di Indonesia dan bertekstur mirip linen. Selain itu, ada karet natural, katun organik, dan kulit kelapa," kata Rowland.
Berbagai bahan baku ditemukan seiring berjalannya bisnis. Bukan hal mudah mendapat bahan baku unik ini.
Soal desain, Rowland mengatakan Pijakbumi condong kepada kesan klasik, timeless, dan minimalis dengan gaya ala Skandinavia dan Jepang. Maka tak heran, sepatu Pijakbumi dominan dengan nuansa warna bumi. Kendati Rowland menyebutkan tidak menutup kemungkinan mengeluarkan koleksi berwarna berani.
Pijakbumi rutin mengeluarkan koleksi baru setiap 6 bulan sekali untuk produk high end dan sekitar 2 bulan sekali untuk koleksi low end.
Meski masih melayani pasar mancanegara, Rowland dan teman-teman memutuskan fokus mengelola pasar domestik sejak setahun berdiri. Mereka sempat patah semangat pada tahun pertama. Dibanderol mulai dari 365 ribu rupiah, muncul pro dan kontra terkait harga sepatu Pijakbumi.
"Dulu sempat ada yang bilang, 'Masa sepatu kayak begini saja, harganya sebegitu (mahal).'' Di sisi lain ada pihak yang mengapresiasi dengan bilang, 'Sepatu kayak begini, masa cuma sebegitu harganya,'” ungkap Rowland.
Dukungan dan semangat membuat Pijakbumi bertahan. Kini, para pelanggan Pijakbumi hampir 100 persen berasal dari dari Indonesia. Sejak 2018 lalu, pemasaran produk dilakukan sepenuhnya secara daring. Total, omzet Pijakbumi mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Soal persaingan dengan produk lokal sekaligus produk luar negari, Rowland menganggapnya tantangan. Ia berpendapat, kesadaran masyarakat akan isu lingkungan yang makin berkembang membuat peluang Pijakbumi makin menjanjikan.
"Kalau kami enggak punya nilai lebih, tentu akan susah untuk berperang. Kami berpegang pada isu lingkungan, desain kami juga enggak main-main. Kami cukup percaya diri karena kami punya cerita. Pendekatan emosional ini yang bikin kami kuat," ujar Rowland.