TEMPO.CO, Jakarta - Meningkatnya kasus campak sebesar 300 persen secara global pada 3 bulan pertama 2019 disebut merupakan dampak jangkauan vaksinasi yang belum merata. Salah satunya akibat keengganan orang tua memberikan vaksin kepada anak.
Baca: Vaksinasi Rendah, Kasus Campak Naik 3 Kali Lipat di Seluruh Dunia
Di Indonesia vaksin juga menjadi polemik yang tidak pernah habis. Berbagai fakta dan hoaks seputar imunisasi terus dikaji untuk dijernihkan.
Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat IDAI, Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), Msi, menegaskan, imunisasi bagaimana pun sangat bermanfaat buat anak-anak.
"Buktinya, semua negara punya program imunisasi lengkap secara berkala. Mengapa masih ada orang tua di Indonesia yang meragukan imunisasi?" kata dia dalam diskusi "Imunisasi Lengkap dan Nutrisi Tepat untuk Mendukung Indonesia Sehat" di Jakarta, pekan ini.
Berdasarkan pengamatan Soedjatmiko, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keraguan orang tua. Pertama, kurangnya informasi mendetail seputar imunisasi. Kedua, tidak tahu jadwal imunisasi. Ketiga, tidak tahu bahwa imunisasi dibuat oleh para ahli di semua negara.
Sebagian orang tua, kata Soedjatmiko, masih berpikir vaksin buatan pabrik kurang terjaga kredibilitasnya. Terakhir dan tak kalah penting, banyak hoaks antivaksin yang disebarkan orang berdasarkan data dari negara lain. Padahal, kondisi negara satu dengan negara lain berbeda.
Hoaks juga dibuat dengan mengutip jurnal-jurnal lawas yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Salah satu hoaks yang paling mengganggu adalah vaksinasi menimbulkan autisme, kelumpuhan, dan mengandung racun.
"Kalau benar menyebabkan autisme dan lumpuh, mengapa semua negara di dunia merekomendasikan vaksinasi? Mengapa banyak penelitian medis menyebut imunisasi bermanfaat?" kata dia.
Dia menambahkan, hoaks itu pendapat pribadi meski yang berpendapat bergelar doktor dan psikolog. Di Inggris misalnya, ada hoaks seorang dokter bedah mengaku meneliti 12 anak yang telah divaksin MR (measles dan rubela) lalu mengidap autisme.
"Ternyata, dokter ini memalsukan data. Lima anak yang diuji memang sudah punya masalah perkembangan tubuh sejak awal sementara 7 lainnya bukan pengidap autisme," tuturnya.
Akhirnya, hasil penelitian itu dibatalkan, dicabut publikasinya, dan belakangan terbukti ia menerima suap dari pengacara yang ingin menuntut sejumlah dokter. Akibatnya, izin praktik sang dokter pun dicabut. "Saya percaya di Indonesia banyak orang tua yang cerdas dalam menyikapi hoaks," ujar Soedjatmiko.
Baca:
Delapan mitos vaksinasi yang memicu munculnya kembali penyakit yang dapat dicegah