TEMPO.CO, Jakarta - Anak muda memang harus aktif dan berpikir kritis. Aktif mencari informasi dan terlibat dalam berbagai organisasi yang sesuai dengan minat mereka. Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Isti Toq’ah, 26 tahun. Sejak duduk di bangku SMP, Isti mengikuti kegiatan organisasi rohani Islam atau rohis untuk mendalami ilmu agama.
Ketika duduk di kelas II SMA, dia akhirnya keluar dari organisasi rohis. Alasannya, apa yang diajarkan dalam kegiatan itu cenderung mengajaknya untuk memiliki sudut pandang intoleran terhadap pemeluk agama lain. Dalam setiap kajian, Isti sering membantah argumentasi para senior di organisasinya mengenai sudut pandang terhadap pemeluk agama lain.
"Aku bilang, 'Mereka (pemeluk agama lain) tidak seburuk yang kalian katakan'," ujar Isti. Hanya saja, beberapa sosok senior di organisasi itu sering kali memintanya diam ketika mengkritisi sesuatu. Lantaran tak sesuai dengan hati nuraninya, Isti memutuskan memilih jalannya sendiri.
Peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam, mengatakan organisasi kerohanian memang memiliki dampak positif dan negatif bagi anak muda. Dampak positifnya, membuat anak muda lebih taat dalam menjalankan ibadah. Dampak negatifnya, di sana muncul sikap cenderung kurang toleran terhadap perbedaan.
Menurut Saiful, faktor-faktor yang terkait dengan relasi sosial kurang menjadi perhatian mereka sehingga muncul persepsi terhadap orang yang memiliki keyakinan berbeda. "Enggan bersosialisasi dengan yang dianggap berbeda," kata Saiful kepada Tempo, Kamis 11 Juli 2019.
Pada 2017, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan survei mengenai pandangan keberagaman muslim generasi Z atau mereka yang lahir setelah 1995. Survei ini juga dilakukan terhadap guru pendidikan agama Islam, dosen pendidikan agama Islam, siswa, dan mahasiswa di 34 provinsi serta 68 kabupaten/kota.
Sampelnya sebanyak 264 guru dan 58 dosen, 1.522 siswa, dan 337 mahasiswa. Analisis data menggunakan statistik deskriptif multiple regression analysis multilevel SEM analysis dengan margin of error 2,3 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasilnya, siswa atau mahasiswa muslim memiliki opini radikal sebesar 58,5 persen, pendapat intoleran terhadap kelompok agama lain sebesar 34,3 persen, dan sikap intoleran terhadap kelompok muslim minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah sebesar 51,1 persen. Sebanyak 86,55 persen siswa atau mahasiswa setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam survei tersebut ditemukan setidaknya ada empat faktor penting yang mempengaruhi seseorang menjadi intoleran dan radikal. Hal itu adalah proses belajar siswa, akses Internet untuk pengetahuan agama, persepsi tentang kinerja pemerintahan, dan ketidakefektifan organisasi keagamaan dalam merangkul anak muda.
Saiful menuturkan, mereka yang mengikuti organisasi masyarakat bercorak keagamaan dan aktif cenderung lebih toleran dibanding mereka yang tidak. Selain itu, siswa atau mahasiswa yang tidak memiliki akses Internet lebih memiliki opini moderat dibanding yang memiliki akses Internet.
Meski begitu, generasi Z tidak anti-NKRI. Dalam survei itu diketahui sebanyak 90,16 persen siswa atau mahasiswa setuju pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan amalan Islam, dan sebanyak 80,74 persen siswa atau mahasiswa tidak setuju terhadap pernyataan bahwa pemerintah Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah tagut dan kafir
Saiful dan timnya memberikan sejumlah rekomendasi, di antaranya pengenalan berbagai agama dan kepercayaan dalam pendidikan agama Islam terkait dengan materi: literasi keagamaan dan pendidikan lintas iman. Selain itu, negara berkewajiban mengembangkan pendidikan keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif. "Temuan ini harus menjadi perhatian seluruh komponen masyarakat."
Baca juga:
Survei Setara: Banyak Mahasiswa yang Ingin Negara Bercorak Agama