TEMPO.CO, Jakarta - Obrolan gaji 8 juta menjadi trending topik di dunia maya. Hal itu karena warganet ramai membincangkan kabar seorang lulusan sarjana satu atau S-1 Universitas Indonesia menolak gaji Rp 8 juta. Ia menolak lantaran besaran gaji itu dianggap tak sepadan dengan nama besar universitasnya. Managing Director Indika Foundation, Ayu Kartika Dewi, pun menceritakan pengalamannya soal gaji.
Dalam akun instagramnya, Ayu membagikan foto saat ia dikelilingi siswa siswi sekolah dasar. "Foto ini diambil oleh @edwardsuhadi tahun 2011 ketika gue jadi guru Sekolah Dasar di Maluku Utara," kata Ayu yang mengaku bukan lulusan Universitas Indonesia.
Baca Juga:
Wanita Pendiri Program Sabang Merauke, Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali, ini mengatakan sebuah keputusan yang besar saat memutuskan untuk menjadi guru di daerah pedalaman itu. Untuk menjadi guru, Ayu memutuskan pekerjaannya sebagai Manager di P&G Singapore. "Turun gaji dong? Wah, gak turun lagi, TERJUN BEBAS! Yaaa kira-kira gue turun gajinya 95 persen lah (artinya gue cuma dapet -5 persen dari gaji gue dulu)," katanya.
Managing Director Indika Foundation, Ayu Kartika Dewi. Tempo/Mitra Tarigan
Beruntung Ayu mendapatkan dukungan penuh dari orang tuanya. Namun ada saja yang berkomentar tentang keputusan besar Ayu itu. Ada yang menilai bahwa Ayu adalah sosok yang inspiratif berani meninggalkan gaji besar demi bisa mengabdi untuk pendidikan. "Nah di sinilah gue gak setuju dengan definisi 'inspiratif' hehe," katanya.
Menurut Ayu, inspiratif tidak sama bila diartikan dengan rela dibayar kecil untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hasrat dan semangatnya. Ia yakin setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Dalam kasus Ayu, ia mengatakan saat memutuskan menjadi guru, ia sudah punya cukup tabungan setelah bekerja di perusahaan selama 5 tahun. Tabungan itu tentunya bisa membuat dirinya aman ketika memutuskan jadi guru SD selama setahun. "Gue sudah punya parasut yang akan menjaga agar kondisi keuangan gue dan keluarga gue baik-baik saja," katanya.
Ayu mengatakan bahwa setiap orang tentu saja berhak punya 'passion' atau cita-dita pribadi, tapi jangan lupakan bahwa kita juga harus realistis. Dalam kehidupan seseorang, ada saja hutang yang harus dibayar, ada orang tua yang harus dikirimi uang, ada adik-adik yang harus dibayar uang sekolahnya. Apakah dengan menjadi realistis seseorang harus minta dibayar besar? "Gak juga," kata Ayu.
Setiap organisasi dan kantor tentu memiliki standar finansial yang berbeda-beda. Standar gaji akan beda bila Anda bekerja di perusahaan konsultan skala Internasional dibandingkan bekerja di sebuah organisasi riset di kampus. Ayu juga mengingatkan bahwa standar gaji seseorang juga akan berbeda tergantung pengalaman dan keahlian yang orang miliki. "Nah, jadi buat gue yang penting bukan 'besar' atau 'kecil' nya gaji, tapi apakah ini 'cukup' untuk hidup yang kita inginkan. Cukup atau tidaknya itu bukan diukur dari gengsi hehe, tapi dari kebutuhan," kata Ayu.
Ayu mengatakan bahwa sebaiknya masyarakat atau para lulusan sarjana yang sedang berburu lowongan kerja jangan melihat gaji sebagai satu-satunya parameter dalam memilih pekerjaan. Dari pengalamannya, Ayu pernah menolak tawaran konsultan karena memilih kerja di pemerintahan dan menolak tawaran tech company karena ia memilih Indika Foundation.
Ayu memiliki tiga alasan utama saat itu. Pertama, ia ingin bekerja di organisasi yang lebih dekat dengan cita-citanya, mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkontribusi pada perdamaian dunia. Kedua, ia ingin belajar pada bos yang ia kagumi. Ketiga, dia ingin belajar melalui proyek-proyek yang dia kerjakan. "Memilih kerja adalah merencanakan hidup. Hidup perlu uang, tapi hidup gak diukur cuma dari uang," katanya.