TEMPO.CO, Jakarta - Lovebird merupakan burung paruh bengkok dari genus Agapornis. Rata-rata mereka berukuran 13-17 sentimeter dengan berat berkisar 40-60 gram. Burung ini umumnya memiliki sifat sosial karena sepasang lovebird akan terlihat berdiri berdekatan seperti sedang menyayangi satu sama lain.
Di Indonesia, burung ini sering kali diikutsertakan dalam kontes, baik kontes kicauan maupun kecantikan. Secara rupa, burung ini memang menarik perhatian. Kicauannya juga nyaring. Burung-burung jawara kontes ini tak jarang ditawar mahal oleh para pencinta burung.
Baca Juga:
Lovebird juara di ratusan perlombaan milik Rohili, yang bernama Yakin di Depok, Rabu 23 Juli 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Salah satunya burung lovebird bernama Kusumo milik Sigit Marwanta asal Klaten. Kusumo, yang mati pada tahun lalu, pernah ditawar seharga Rp 2,2 miliar, namun tidak dilepas oleh pemiliknya. Tawaran Rp 2 miliar itu datang dalam bentuk mobil Alphard, Rubicon, dan uang sebesar Rp 300 juta. Kusumo menjadi salah satu legenda bagi pencinta lovebird karena pernah 400 kali menang lomba.
Selain Kusumo, terdapat lovebird bernama Fretty, yang pernah ditawar Rp 1 miliar; dan lovebird bernama Jalal, yang pernah ditawar Rp 750 juta. Pemilik lovebird Jalal, Ade Sulistio, mengatakan pada 2014 ada banyak orang kepincut pada Jalal. Hal ini sebagai imbas dari moncernya prestasi Jalal saat mengikuti kontes bertajuk Piala Raja yang memperebutkan piala berupa mahkota raja dan juga di kontes bernama BnR Award.
Namun tawaran itu tidak membuat Ade melepas Jalal. Sebab, baginya, burung itu sudah bukan lagi sekadar peliharaan. Ia menjelaskan, dirinya dan Jalal sudah memiliki hubungan saling memiliki. Baginya, memang ada burung-burung tertentu yang saking sayangnya, tawaran nominal berapa pun tidak akan membuatnya melepas burung itu kepada orang lain. "Kalau sudah sayang, susah (melepasnya)," kata Ade melalui sambungan telepon kepada Tempo, Rabu lalu.
Bersama Jalal, Ade mengaku sudah memenangi berbagai kontes kicau dari tingkat daerah sampai nasional, yang jumlahnya sekitar 300 kontes.
Burung lovebird (Agapornis Personata). TEMPO/Fully Syafi
Sejak kecil, Ade sudah akrab dengan burung. Orang tuanya memelihara burung dan sering ikut kontes burung. Pada 2011, ia mulai mencoba lovebird karena belum terlalu banyak orang memeliharanya. Kicauan burung ini terdengar lebih nyata jika dikonteskan, dibanding burung kenari yang pernah dipelihara sebelumnya.
Pria 34 tahun ini mengimpor lovebird pertamanya dari Eropa sebanyak delapan ekor. Setelah lovebird itu mencetak prestasi, perlahan ia juga menjadi peternak. Ia berpikir hitung-hitung menjadikan hobi sebagai ladang penghasilan. Padahal Ade sebelumnya bekerja sebagai distributor yang menyalurkan batu bara dari produsen ke pabrik-pabrik yang membutuhkan.
Sebetulnya, penghasilannya bekerja di bidang batu bara jauh lebih besar dibandingkan dengan beternak lovebird. Namun ia merasa lebih bisa merasakan kenikmatan sebagai peternak lovebird. Saat ini Ade memiliki sebuah rumah khusus yang menampung burung-burung lovebird hasil ternaknya.
Menurut Ade, harga jual burungnya paling rendah sebesar Rp 1,5 juta. Adapun harga tertinggi tidak menentu. Ia pernah menjual seekor lovebird hasil ternaknya seharga Rp 135 juta. "Kualitas lovebird yang (seharga) ratusan juta tidak setiap bulan ada," tuturnya. Meski begitu, ia tidak menampik ada penjualan lovebird lain yang mencapai angka di atas Rp 50 juta.
Tidak hanya beternak, kini Ade juga memproduksi vitamin dan pakan untuk lovebird. Ia menjual pakan dengan kemasan 200 gram dan vitamin berdosis 8 miligram dan 80 miligram. Pakan dan vitamin itu dijual putus ke sebuah pabrik yang kemudian akan mendistribusikannya dengan label mereka.
Ide menghasilkan pakan dan vitamin bermula ketika banyak orang menanyakan pakan dan vitamin apa yang diberikan kepada lovebird peliharaannya. Akhirnya ia memberikan pakan dan vitamin itu kepada orang yang membeli burung darinya. Produk itu kemudian berkembang dari mulut ke mulut sampai akhirnya ada pabrik yang memesan kepadanya.