Pada akhir 2017, Ade juga merilis buku berjudul Mencetak Lovebird Juara. Buku ini berisi 75 cara membuat lovebird Anda menjadi juara dalam kontes. Cara ini pernah dipraktikkannya sendiri. Ia merasa sayang jika pengalamannya selama ini hanya diketahui orang-orang terdekatnya. Ia membuka semua rahasianya di buku itu.
Ia tidak takut tersaingi dengan membuka rahasia "dapur"-nya. Ade mengaku hanya mengikuti langkah para koki ahli yang tak segan membagikan resepnya kepada orang lain. "Tidak masalah kalau dia lebih bagus dari saya, artinya ilmu saya bermanfaat."
Peternak saat melakukan perawatan burung jenis lovebird di Jakarta Timur, 22 September 2018. Lovebird berasal dari bahasa Yunani dan termasuk spesies Agapornis. AGA yang berarti cinta, sedangkan ORNIS yang berarti burung. Tempo/Fakhri Hermansyah
Pemilik lovebird lain, Rohili, 28 tahun, punya sikap sama dengan Ade: tidak mudah melepas burungnya meski ditawar tinggi. Pria asal Depok, Jawa Barat, ini punya burung bernama Yakin, yang pernah ditawar seharga Rp 500 juta. Tawaran itu datang dua kali. "Pertama ditawar Rp 300 juta melalui telepon," katanya saat ditemui Tempo di Depok, Rabu lalu.
Kedua, sang penawar, asal Madura, Jawa Timur, datang langsung ke rumahnya di Depok. Likun-nama lain Rohili-hanya akan melepas Yakin jika ada yang berani menawar di atas Rp 500 juta atau seharga mobil sport teranyar.
Ia bercerita bahwa Yakin adalah pemberian tetangganya yang juga seorang pencinta burung. Yakin dibawa dari Yogyakarta oleh tetangganya saat berusia di bawah lima bulan. Awalnya, Yakin bukan burung yang mudah berkicau saat di kontes. Ketika berada di atas gantangan atau tiang tempat menempatkan burung saat lomba, Yakin malah tidak berkicau.
Sejak itu, Likun bertekad mempelajari cara merawat lovebird yang benar. Sebelum ada Yakin, ia sempat memelihara lovebird lain yang diberi nama Getuk Lindri, namun dicuri orang. Kehilangan Getuk Lindri sempat membuatnya tak bersemangat lagi memelihara lovebird, sampai akhirnya bertemu Yakin. "Bisa bertemu lovebird yang ‘konslet’ (memiliki durasi panjang tanpa jeda saat berkicau) itu semacam hidayah."
Pesona burung lovebird membuat barisan pemain bisnis ini makin panjang. Bakti Al Rashid, misalnya, mencoba peruntungan di bisnis ini sejak 2017. Ia memang sejak kecil punya hobi memelihara burung, namun ketertarikan pada lovebird baru muncul ketika ia tahu sepasang lovebird dibanderol Rp 10 juta. "Saya lihat pangsa pasarnya juga masih sedikit," katanya kepada Tempo, Rabu lalu.
Namun peternakan lovebird bernama BAR Bird Farm itu hanya usaha sampingan. Pekerjaan utamanya adalah menjadi pengembang perumahan bersama ayahnya, serta berbisnis jual-beli batu mulia. Meski usahanya disebut sampingan, Bakti tak ingin setengah-setengah. Ia rela merogoh kocek sampai Rp 800 juta sebagai modal awal usaha ini.
Aneka jenis burung lovebird di Jakarta Timur, 22 September 2018. Burung yang berasal dari Afrika ini menjadi primadona di kalangan pencinta hewan ini karena memiliki warna yang bagus dan suara yang indah. Tempo/Fakhri Hermansyah
Kala memulai usaha itu, Bakti membeli sepasang lovebird seharga Rp 125 juta. Kemudian ia membeli lagi sepasang lovebird seharga Rp 80 juta dan Rp 50 juta. Di antara 10 pasang lovebird yang dibelinya saat memulai usaha adalah lovebird jenis opaline turquoise dan opaline blue. "Dulu itu mahal, sekarang paling Rp 15 juta," tutur Bakti.
Bakti pun mengakui harga jual lovebird kini tengah anjlok karena makin banyaknya peternak. Ia menuturkan, sejumlah peternak juga merusak harga pasar dengan menjual hasil ternaknya terlalu cepat. "Ada yang pukul harga Rp 5 juta, ada yang Rp 1 juta. Asal laku."
Secara omzet, Bakti tiap bulan bisa menghasilkan uang Rp 25 juta dan sesekali bisa memperoleh hingga Rp 75 juta. Bakti membanderol harga lovebird-nya dari Rp 100 ribu hingga Rp 25 juta per ekor.
Ia mengaku sampai hari ini belum bisa balik modal dari bisnis ini. Meski begitu, Bakti optimistis usahanya bisa tetap bertahan karena ia berusaha menghasilkan jenis baru melalui kawin silang. Ia menganggap barang langka akan dicari orang dan membuat harganya menjadi tinggi. Meskipun demikian, ia mengakui hal ini tak mudah, karena sulit mendapatkan materi yang bagus. Soalnya, pemilik burung enggan melepasnya. "Barangnya ada, orangnya tak mau menjual. Kami sebut harga (tinggi), dia tidak mau."
IRSYAN HASYIM | DIKO OKTARA | KORAN TEMPO